Manuver Komisi XI Menunaikan Tugas Konstitusi di Periode 2019-2024
- 0
- 7 min read
Komisi XI DPR RI saat melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan mitra kerjanya di DPR RI, Senayan, Jakarta. Foto: Munchen/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Mengampu bidang keuangan termasuk fiskal dan moneter, Komisi XI DPR RI telah menorehkan banyak catatan dalam tugasnya di periode 2019-2024. Dari fungsi legislasi, setidaknya, telah lahir lima undang-undang dari Komisi termuda yang ada di DPR RI ini. Fungsi pengawasan dan anggaran pun ditunaikan sesuai dengan kondisi terkini, mulai dari saat pandemi Covid-19 menerpa hingga rancangan anggaran di masa transisi pemerintahan untuk periode selanjutnya.
Dari Bea Materai ke UU Sapu Jagat
Sepanjang periode 2019-2024, Komisi XI DPR RI telah merampungkan lima undang-undang terkait dengan keuangan negara dan industri keuangan. UU pertama yang dilahirkan oleh Komisi XI DPR RI pada periode ini adalah RUU Bea Materai dan yang terbaru adalah UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK)
UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai merupakan UU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 yang diusulkan pemerintah. Salah satu gebrakan dari payung hukum baru ini adalah pemberlakuan satu tarif meterai Rp10.000 per lembar menggantikan tarif yang berlaku sebelumnya yaitu Rp 3.000 dan Rp6.000.
Selanjutnya adalah UU Nomor 13 Tahun 2020 yang merupakan Pengesahan Protocol to Implement the Seventh Package of Commitments on Financial Services under the ASEAN Framework Agreement on Services (Protokol untuk Melaksanakan Paket Komitmen Ketujuh Bidang Jasa Keuangan dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa) atau dikenal dengan AFAS 7.
Pada tahun 2021, Komisi XI DPR RI membahas RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang kemudian menjadi cikal bakal UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
Dito Ganinduto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi XI DPR RI mengatakan bahwa UU HPP diharapkan dapat meletakkan pondasi sistem perpajakan yang lebih sehat, lebih adil, dan berkesinambungan dengan beberapa pilar. Seperti pilar penguatan administrasi perpajakan, untuk memberikan kepastian hukum dan menguatkan pelaksanaan kesepakatan internasional.
Di penghujung tahun 2021, Komisi XI DPR RI telah merampungkan pembahasan Undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). UU Nomor 1 Tahun 2022 kemudian diundangkan tanggal 5 Januari 2022. UU HKPD diterbitkan untuk memperkuat desentralisasi fiskal guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Ini ikhtiar bersama. Banyak kemajuan dan diskusi yang sangat produktif antar pemerintah dengan DPR RI. Kami pun juga menerima banyak masukan mulai dari akademisi, ahli dan pihak terkait lainnya,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan di Jakarta usai Rapat Paripurna DPR RI yang memuat pembahasan tingkat II UU tersebut.
Undang-undang terakhir yang menjadi buah karya Komisi XI DPR RI di periode 2019-2024 adalah UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Undang-undang sapu jagat sektor keuangan ini merupakan upaya pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum melalui reformasi sektor keuangan Indonesia.
“Kehadiran UU ini bisa menciptakan ekosistem yang dapat meningkatkan kolaborasi dengan menghadirkan interkonektivitas baik antar lembaga sektor keuangan maupun dengan seluruh sektor industri jasa keuangan,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie O.F.P di Jakarta pada Desember 2022 lalu.
UU P2SK digadang akan memberikan perlindungan bagi konsumen dari pesatnya perkembangan sektor keuangan di tanah air. UU ini juga telah menyertakan pengaturan dalam digitalisasi sektor keuangan. Tak lupa UU P2SK didedikasikan untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Kawal Stabilitas Ekonomi
Baru beberapa bulan menjabat, tugas anggota dewan pada periode 2019-2024 dibuka dengan hantaman pandemi Covid-19. Kondisi ini tak sekadar berpengaruh pada dunia kesehatan tetapi juga memiliki dampak besar pada perekonomian tanah air.
Komisi XI DPR RI telah mewanti-wanti pemerintah akan dampak Covid-19 sejak awal tahun 2020. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) sempat terdepresiasi ke kisaran Rp 16.550 akibat dari sentimen pandemik Covid-19 dan wacana lockdown yang akan diterapkan saat itu.
Saat itu, Komisi XI DPR RI menyoroti besarnya resiko ekonomi yang ditimbulkan jika opsi lockdown atau isolasi wilayah diberlakukan. Saat itu, risiko yang muncul akibat pembatasan pergerakan disinyalir bisa lebih besar dari negara-negara lain lantaran tenaga kerja Indonesia yang sebagian besar berasal dari sektor informal.
Untuk membantu pulihnya perekonomian Indonesia, pemerintah kemudian menggelontorkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Perhatian Komisi XI pun tak lepas untuk melakukan pengawasan. Program PEN digadang untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Namun, pengembangan Program PEN juga diminta untuk disesuaikan dengan karakteristik daerah.
Berkomitmen mengawasi setiap sen pengeluaran pemerintah. Komisi XI DPR RI dengan tegas meminta penelusuran dan pengungkapan atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait pemeriksaan Program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Terlepas dari kondisi dan pemulihan perekonomian tanah air saat Covid-19, Komisi XI DPR RI juga ikut bersuara saat terjadinya kenaikan harga BBM hingga privatisasi BUMN.
Terkait keuangan, Komisi XI tak henti untuk ikut mengampanyekan literasi keuangan termasuk keuangan digital. Tak ayal saat ada dugaan peretasan pada sistem perbankan, Komisi XI DPR RI pun ikut bersuara. Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyebut kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat mahal bagi dunia perbankan tanah air untuk mulai memberikan perhatian lebih kepada pengamanan sistem yang digunakan
Kebijakan-kebijakan keuangan yang berdampak pada masyarakat seperti kenaikan suku bunga acuan BI juga turut dipantau. Pengawasan Komisi XI juga dilakukan terhadap isu-isu yang berkaitan langsung dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Misalnya, bahaya pinjaman online (pinjol) ilegal hingga dampak inflasi pada daya beli.
Kondisi mitra pun tak lepas dari pengawasan Komisi XI DPR RI. Pada 2023 lalu, terjadi polemik di dalam tubuh Kementerian Keuangan lantaran munculnya unggahan terkait dengan kehidupan glamor para pejabat Kemenkeu dan dugaan transaksi janggal bernilai fantastis. Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad. Menurutnya, kasus ini akan menggerus kepercayaan publik terhadap Kemenkeu khususnya wajib pajak kepada DJP. Pasalnya, setiap tahun, anggaran yang digelontorkan cukup besar kepada instansi keuangan tersebut.
Pintu Gerbang Anggaran Negara
Bermitra dengan Kementerian Keuangan RI dan Kementerian PPN/Bappenas, Komisi XI DPR RI merupakan gerbang pembahasan APBN setiap tahunnya. Termaktub dalam UUD 1945, pembicaraan menyangkut APBN harus selalu melibatkan DPR RI, sesuai Pasal 20a (1) dan Pasal 23 (1) UUD NRI Tahun 1945.
Menjaga marwah DPR RI sebagai lembaga negara, Komisi XI DPR RI pernah “menyentil” pemerintah lantaran melakukan perubahan APBN pada tahun 2020 lalu. Heri Gunawan yang saat itu menjadi Anggota Komisi XI DPR RI menyoroti terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020. Dengan tegas ia menyatakan bahwa perpres tersebut sangat berpotensi mereduksi hak konstitusional DPR RI yang sudah dimandatkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Siklus pembahasan RAPBN umumnya dimulai pada pertengahan tahun. Komisi XI DPR RI bersama pemerintah merancang asumsi dasar atas RAPBN tahun berikutnya terutama untuk Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang nantinya akan di bahas di Badan Anggaran.
Selain dari sisi pengawasan, pemenuhan tupoksi Komisi XI DPR RI terhadap persoalan budgeting juga tercermin dari penguatan dan perluasan fiskal yang berkeadilan, yaitu dalam mendorong diversifikasi basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara melalui cukai.
Sejak tahun 2023, Komisi XI juga sudah mendorong Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk mempertajam usulan program dalam menuntaskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Menutup periode 2019-2024, DPR RI bersama pemerintah merancang APBN 2025 yang digadang memiliki semangat keberlanjutan. Anggota Komisi XI DPR RI Fauzi Amro sempat menyampaikan pendapat bahwa perlu adanya kreativitas dalam memberikan ruang fiskal bagi pemerintahan baru. Menurutnya dengan beban utang dan beban pembiayaan lainnya, maka dapat membatasi gerak pemerintahan baru dalam menjalankan visi-misi mereka.
Usai Sidang Paripurna DPR RI pada 16 Agustus 2024 lalu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan menilai RAPBN 2025 yang disampaikan presiden RI Joko Widodo untuk merespon situasi yang penuh transisi. Dengan situasi transisi itu, situasi global saat ini penuh ketidakpastian, namun semangat yang tergambarkan dalam RAPBN tersebut tetap optimis dengan semua sumber daya yang dimiliki Indonesia.
Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad memberi tagline ‘Optimis tapi Waspada’ pada APBN 2025. Hal ini lantaran rasa optimis yang timbul karena merasa pembangunan ekonomi Indonesia telah berada pada jalur yang benar namun harus tetap waspada waspada karena ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi di luar prediksi dan proyeksi sebelumnya layaknya yang terjadi di awal periode dan beberapa tahun terakhir. •uc/aha
- Komisi XI
- Seputar Isu