PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah menekankan bahwa hilirisasi harus menjadi haluan baru kebijakan ekspor Indonesia. Menurutnya, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi untuk menavigasikan ekspor kita lebih bernilai tinggi. Ia lantas menyinggung aktivitas ekspor barang mentah dan impor barang jadi yang berasal dari komoditas ekspor tersebut.
“Hilirisasi harus menjadi haluan baru kebijakan ekspor dan pengelolaan devisa. Selama ini ekspor bahan mentah lalu kita beli lagi ketika menjadi barang jadi dan puluhan tahun kita lakukan ini,” kata Said saat memimpin rapat kerja Banggar DPR RI pada Selasa (4/6/2023) di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.
Rapat Kerja yang dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa selaku wakil dari pemerintah dan Gubernur Bank Indonesia ini merupakan bagian dari Pembicaraan Pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2025.
Selain itu, ia juga menyoroti masalah serius terkait pengelolaan devisa, Disampaikannya, banyak perusahaan mengambil keuntungan dari sumber daya alam Indonesia namun justru menempatkan devisa yang dihasilkan di luar negeri, tanpa memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat Indonesia.
“Kita juga belum merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor, mereka mengambil kekayaan alam kita namun memarkir devisa di luar negeri,” kata Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Lebih lanjut ia mengatakan hilirisasi diharapkan menjadi titian bagi Indonesia menjadi negara Industri. Said kemudian menyoroti rata-rata nilai tambah manufaktur yang menurun dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya. Said Abdullah menegaskan bahwa situasi ini merupakan tanda deindustrialisasi dini, dan menekankan perlunya pemerintah untuk waspada terhadap hal ini.
“Catatan dari LPEM UI, hampir 10 tahun terakhir rata-rata nilai tambah manufaktur sekitar 39,12% hingga tahun 2020. Jauh lebih rendah dibanding rata-rata pada masa Presiden Megawati 43,94% dan Presiden SBY 41,64%. Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi ini. Oleh sebab itu diharapkan pemerintah bisa mewaspadai hal ini.
Pada kesempatan yang sama, Said sempat menyinggung bahwa tingkat investasi sebagaimana tahun masih belum menghasilkan barang jasa yang efisien. Ia lantas membandingkan skor ICOR tahun 2014 sebesar 5,5 dan diperkirakan pada level 6,5 di tahun 2023.
“ICOR kita di tahun 2014 tercatat 5,5 setelah hampir 10 tahun kita menggelorakan pembangunan infrastruktur skor ICOR kita malah naik di kisaran 6,5 di tahun 2023. Data di atas menjelaskan bahwa setiap penambahan satu miliar output dibutuhkan tambahan investasi sekitar 6,5 miliar,” jelasnya.
ICOR atau Incremental Capital Output Ratio adalah perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan tersebut. Said lalu kembali membandingkan angka ICOR tersebut dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia (4,5), Thailand (4,4), Vietnam (4,6) dan Filipina (3,7). Said berpendapat bahwa seharusnya pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia dan teknologi dapat memberi kontribusi besar bagi turunnya koefisien ICOR nasional. •uc/aha