#Kesejahteraan Rakyat

Perlunya Pembaharuan Kurikulum di SMK Penerbangan yang Sesuai dengan Kebutuhan Industri

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi saat memimpin RDPU dengan Forum Komite Sekolah Menengah dan Kejuruan Kabupaten Banyuwangi dan Misnadi Forum Komunikasi SMK Penerbangan Indonesia di Ruang Rapat Komisi X, Senayan, DPR RI, Jakarta, Rabu (20/3/2024). Foto: Farhan/nr.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi saat memimpin RDPU dengan Forum Komite Sekolah Menengah dan Kejuruan Kabupaten Banyuwangi dan Misnadi Forum Komunikasi SMK Penerbangan Indonesia di Ruang Rapat Komisi X, Senayan, DPR RI, Jakarta, Rabu (20/3/2024). Foto: Farhan/nr.

PARLEMENTARIA, Jakarta – Komisi X DPR RI menerima aspirasi dari Forum Komunikasi SMK Penerbangan Indonesia (FKSMKPI) dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Dalam kesempatan itu, Ketua FKSMKPI Makmur Syukra menjelaskan bahwa hanya 15 Persen lulusan SMK Penerbangan dari tahun 2020 sampai 2023 yang berhasil meniti karir di industri penerbangan.

Salah satu penyebabnya karena tidak selarasnya kurikulum di SMK Penerbangan yang dikeluarkan Kemendikbud-Ristek dengan kurikulum Kementerian Perhubungan.

Merespon Hal itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan akan segera memanggil Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) dan kementerian terkait lainnya guna menyusun kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri.

“FKSMKPSI mengatakan kebutuhan tenaga kerja lulusan SMK Penerbangan ada namun terhalang dengan regulasi yang ada di Kementerian Perhubungan. Untuk itu, kami akan segera menggelar pertemuan dengan Kemendikbud-Ristek dan instansi terkait,” ungkapnya saat memimpin RDPU dengan Forum Komite Sekolah Menengah dan Kejuruan Kabupaten Banyuwangi dan Misnadi Forum Komunikasi SMK Penerbangan Indonesia di Ruang Rapat Komisi X, Senayan, DPR RI, Jakarta, Rabu (20/3/2024).  

Selain itu, guna meningkatkan keterampilan bagi para SDM terkait, Dede mengatakan Kemendikbud-Ristek perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam memfasilitasi upaya pembinaan berkelanjutan bagi satuan pendidikan kejuruan. Kerja sama tersebut harus melibatkan berbagai aspek, termasuk pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI), peningkatan keterampilan bagi pendidik dan peserta didik, serta revitalisasi sarana dan prasarana pendidikan.

Kemendikbud-Ristek perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam memfasilitasi upaya pembinaan berkelanjutan bagi satuan pendidikan kejuruan.

“Sebenarnya masalah seperti ini tidak hanya terjadi di  SMK Penerbangan tetapi hampir di semua sekolah kejuruan. Karenanya kami (Komisi X) mendorong Kemendikbud-Ristek untuk bekerja sama dengan K/L teknis, antara lain Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian ketenagakerjaan terkait pengembangan kurikulum, standardisasi lulusan pendidikan kejuruan/vokasi, dan daya serap lulusan di DUDI. Sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja,” tutupnya.

Sebelumnya, Makmur Syukra mengatakan penyebab rendahnya serapan lulusan SMK Penerbangan yang meniti karir tersebut, di antaranya, karena lulusan SMK Penerbangan tidak memiliki Sertifikat Kecakapan Teknisi (Basic License). Selain itu, industri penerbangan dalam memberikan perhatian (link and match) kepada SMK Penerbangan belum maksimal, dan juga industri penerbangan sejak tahun 2016 lebih memilih lulusan Diploma 3 ketimbangan lulusan SMK.

Kemudian, adanya regulasi yang mengharuskan calon teknisi Pesawat Wajib memiliki Basic Certificate (A1, A2, A3, A4, C1, C4). Di sisi lain, kurikulum di SMK Penerbangan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud-Ristek belum dapat diakui oleh Kementerian Perhubungan. SMK Penerbangan juga belum menjalankan kurikulum industri (AMTO), sedangkan regulasi di Kementerian Perhubungan mengharuskan alumni yang akan bekerja di bidang Perawatan  Pesawat Terbang wajib menjalani diklat selama 3000 jam atau setara 18 bulan

Kemudian dari sisi sarana dan prasarana, bahwa kondisi SMK Penerbangan di Indonesia sebanyak 75 persen sekolah belum memadai. Perusahaan industri penerbangan, juga enggan memberikan scrap komponen pesawat bekas kepada SMK penerbangan sebagai bantuan alat praktik, dan beberapa SMK Penerbangan tidak mampu untuk membeli komponen benkas dan alat tes komponen pesawat dikarenakan harga yang relatif mahal. •rnm/rdn

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *