Eddy Soeparno Ingatkan DME Perlu Dikaji Lebih Dalam Gantikan LPG 3 Kg
- Mei 7, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi XII DPR RI Eddy Soeparno menyoroti tantangan keekonomian dalam proyek hilirisasi batu bara, khususnya dalam produksi Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi gas LPG 3 Kg. Eddy menegaskan pentingnya kajian keekonomian yang komprehensif sebelum Pemerintah mengambil keputusan strategis dalam pembangunan infrastruktur DME.
“Kalau kita bicara hilirisasi batu bara, kita selalu terbentur pada keekonomian. Jangan sampai produk yang kita hasilkan justru lebih mahal dibandingkan produk yang kita gunakan sekarang,” ujar Eddy saat Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi XII DPR RI dengan Dirut PT Bukit Asam Tbk dengan agenda perkembangan hilirisasi batubara, yang digelar di Ruang Rapat Komisi XII, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Lebih lanjut, Legislator Fraksi PAN tersebut Eddy menyoroti bahwa satu tabung LPG 3 kg saat ini disubsidi pemerintah sebesar Rp36.000, sehingga harga keekonomian sesungguhnya mencapai sekitar Rp50.000. Ia mempertanyakan apakah DME mampu menggantikan LPG secara efisien tanpa membebani anggaran negara atau masyarakat.
Eddy lantas mengungkapkan bahwa hasil kunjungan ke fasilitas Air Products di Arizona, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa proyek DME tidak menunjukkan keekonomian yang layak. “Waktu itu bahkan dibicarakan lebih baik kita tetap impor LPG 3 kg karena lebih murah,” katanya.
Eddy juga mengusulkan agar Pemerintah mempertimbangkan alternatif lain, yaitu meningkatkan kapasitas produksi LPG di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor yang saat ini masih mencapai 65-70 persen. Mengingat, jika harga impor LPG sekarang sekitar USD 435–450 per kiloliter, sedangkan produksi DME mencapai USD 900, disparitasnya sangat tinggi sehingga menjadi masalah dari sisi keekonomian.
Eddy menambahkan bahwa tanpa terobosan teknologi atau efisiensi produksi yang signifikan, proyek DME sulit bersaing dengan LPG. Ia juga menekankan pentingnya analisis dampak sosial dan ekonomi jika subsidi LPG dicabut atau dialihkan. “Kalau subsidi dicabut, masyarakat mampu harus bermigrasi ke LPG nonsubsidi. Tapi bagaimana dampaknya terhadap inflasi dan daya beli masyarakat?” tanyanya.
Meskipun demikian, Eddy menegaskan bahwa Komisi XII DPR tetap mendukung pembangunan kapasitas energi nasional, asalkan pertimbangannya berdasarkan perhitungan keekonomian yang realistis. Ia juga meminta agar perhitungan harga sintetik gas dan potensi offtaker seperti PLN diperjelas.
“Dalam artian ketika sudah diproduksi menjadi sintetik gas kemudian di-offtake oleh pembelinya yaitu PLN, berapa tarifnya PLN gitu? Karena kalau kita hitung-hitung ini mungkin tidak apple to apple. Tapi kalau kita hitung untuk waste-to-energy saja hitung-hitungan untuk bisa keekonomiannya masuk itu 18–20 sen per kilowatt hour, nah berapa kira-kira nilainya ini?” pungkas Eddy. •pun/rdn