3 February 2025
Ekonomi dan Keuangan

DPR dan LPS Bahas Tantangan BPR: Fraud hingga Modal Minimum

  • Januari 31, 2025
  • 0

Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, saat mengikuti pertemuan kunjungan kerja spesifik di Tangerang Selatan, Banten, Kamis (30/1/2025). Foto: Ucha/vel.
Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, saat mengikuti pertemuan kunjungan kerja spesifik di Tangerang Selatan, Banten, Kamis (30/1/2025). Foto: Ucha/vel.


PARLEMENTARIA, Tangerang Selatan
– Komisi XI DPR RI melakukan kunjungan kerja spesifik ke Tangerang Selatan, Banten, guna membahas dan memetakan kondisi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di wilayah tersebut. Dalam rapat dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), terungkap sejumlah permasalahan yang menjadi tantangan umum bagi BPR di berbagai daerah.

Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, menyoroti kontribusi BPR di Banten terhadap sektor perbankan nasional yang mencapai sekitar 4,5%. Namun, ia juga menegaskan perlunya perhatian serius terhadap rasio Non-Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah yang dilaporkan mencapai 12%.

“Kalau kita bandingkan, kontribusi BPR di Banten secara nasional sekitar 4,5%. Namun, yang perlu dicermati adalah kenaikan NPL yang cukup tinggi, yakni sekitar 12%. Ini harus diwaspadai,” ujar Andreas saat ditemui Parlementaria usai pertemuan pada Kamis (30/1/2025) di Tangerang Selatan, Banten.

Selain tingginya rasio kredit bermasalah, politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini juga menyoroti penyebab utama penutupan sejumlah BPR di Banten dan daerah lainnya. Ia mengungkapkan bahwa banyak kasus penutupan BPR disebabkan oleh indikasi praktik kecurangan atau fraud yang dilakukan oleh pengurus maupun pemilik.

“Permasalahan yang menyebabkan BPR tutup masih berkutat pada hal yang sama, yaitu terjadinya fraud oleh pengurus atau pemilik, selain juga masalah sumber daya manusia dan teknologi,” tambahnya.

Berdasarkan data LPS, sejak mulai beroperasi pada 2005 hingga 31 Desember 2024, terdapat delapan BPR di Banten yang dicabut izin usahanya oleh OJK dan dilikuidasi oleh LPS. Sepanjang 2024, tercatat 21 BPR/BPRS di berbagai daerah yang berstatus Bank Dalam Resolusi, termasuk PR EDC Cash di Provinsi Banten, yang kemudian dicabut izin usahanya (CIU) dan masih dalam proses likuidasi.

Masalah lain yang menjadi perhatian adalah ketidakmampuan sejumlah BPR dalam memenuhi ketentuan Modal Inti Minimum sebesar Rp6 miliar, sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK No. 5/POJK.03/2015 Pasal 13.

“Selain itu, ada juga BPR yang belum memenuhi ketentuan Modal Inti Minimum sebesar Rp6 miliar. Ini perlu diperhatikan, termasuk dalam penerapan pencadangan dana,” lanjut Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR RI itu.

Melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), Andreas menegaskan bahwa BPR diharapkan dapat lebih berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.

“Undang-Undang P2SK mengamanatkan agar BPR dapat lebih berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian, terutama di daerah,” tutupnya.

Dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, BPR kini merujuk pada Bank Perekonomian Rakyat, menggantikan istilah sebelumnya, yakni Bank Perkreditan Rakyat. Perubahan ini diharapkan dapat mendorong BPR untuk lebih berkontribusi terhadap perekonomian masyarakat. •uc/aha