Fenomena ‘No Viral, No Justice’ Kasus Perundungan Jadi Tamparan Keras bagi Penegakan Hukum
- 0
- 3 min read
Anggota Komisi X DPR RI Fahmi Alaydroes, saat mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR ke Pemkab Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa (26/3/2024). Foto: Bunga/nr.
PARLEMENTARIA, Bekasi – Anggota Komisi X DPR RI Fahmi Alaydroes, tegas menyuarakan kekecewaannya terhadap oknum pelaku bullying (perundungan) yang mengangkangi hukum lewat oknum aparat yang terlibat di dalamnya. Kasus kekerasan seperti perundungan di lingkungan satuan pendidikan telah menjadi sorotan utama, dengan insiden-insiden yang semakin sering terjadi. Salah satu prioritas utama negara yang berlandaskan hukum tercermin dari perlindungannya terhadap semua warga negara, termasuk anak-anak. Namun, ketika kasus perundungan diabaikan atau tidak ditangani secara serius, itu menandakan kegagalan sistem dalam melindungi warga negaranya.
“Rusaknya negeri, kalau ada oknum-oknum tertentu yang kemudian dalam tanda petik mengangkangi hukum. Negeri kita negeri hukum dan negara harus melindungi semua warga. Ketika bicara korban, korban ini kan anak-anak kita, korban ini kan warga negara kita. Tidak boleh kemudian diabaikan dengan negara atau kita membiarkan ada pihak-pihak tertentu yang kemudian mencoba untuk memperalat pihak-pihak tertentu agar kasus ini tidak berlanjut,” ujar Fahmi usai ditemui Parlementaria usai Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR ke Pemkab Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa (26/3/2024).
“Ketika bicara korban, korban ini kan anak-anak kita, korban ini kan warga negara kita.”
Fahmi Alaydroes juga menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perundungan, namun juga menyoroti pentingnya pendidikan karakter dalam mencegah kasus-kasus semacam itu. Dia menekankan bahwa kelemahan dalam pendidikan karakter merupakan akar dari masalah ini. Jika pendidikan karakter lebih diperhatikan dan ditekankan dalam sistem pendidikan nasional, kemungkinan kasus-kasus perundungan dapat diminimalisir.
“Jadi, esensinya adalah tegakan hukum, tapi sebelum tegakan hukum itu tadi yang kembali kepada persoalan pendidikan. Jadi, persoalan utama di pendidikan nasional kita adalah pendidikan karakter yang sangat lemah. Kalau pendidikan karakter kita kuat, maka kasus-kasus perundungan ini akan sirna,” ungkapnya.
Namun, fenomena yang semakin mengkhawatirkan adalah bahwa tidak semua kasus perundungan mendapatkan perhatian yang layak, terutama jika tidak menjadi viral di media sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keadilan tidak selalu ditegakkan, terutama ketika pelaku memiliki kekuasaan atau hubungan yang kuat dengan institusi-institusi penegak hukum.
“Jadi ketika ada fenomena no-viral no-justice atau warga negara kemudian mengadu kepada masyarakat melalui media sosial, itu menjadi peringatan, menjadi sinyal bahwa aparat negara itu lemah atau tidak dipercaya oleh masyarakat. Ini kan indikasi negara yang gagal, bagaimana kalau kemudian warga negara tidak lari kepada aparat, tidak berlindung kepada pemerintah, tapi mereka berlindung atau mencari keadilan kepada masyarakat dalam kaitannya hal ini yaitu netizen. Menurut saya ini pukulan yang sangat memperhatinkan untuk praktek berbangsa dan bernegara. Kita harus perbaiki, terutama saya mendorong dengan tegas pemerintah yang terlibat untuk bertindak secara adil,” tandas Legislator PKS tersebut.
Sebagai negara yang berlandaskan pada hukum, upaya untuk menegakkan keadilan haruslah menjadi prioritas, terutama dalam melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Dengan menggabungkan penegakan hukum yang kuat dengan pendidikan karakter yang kokoh, diharapkan dapat membangun penerus bangsa yang bijak dan berkeadilan. •blf/aha
- Komisi X
- Seputar Isu