PARLEMENTARIA, Jakarta – Pasal 1 RUU KIA mendefinisikan keluarga hanya sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas beberapa anggota keluarga. Dalam UUD NRI 1945 Pasal 28B ayat (1) terkait keluarga, jelas ada frasa ‘melalui perkawinan yang sah’.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid menyoroti hilangnya frasa ‘perkawinan yang sah’ pada definisi keluarga dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA). Dia meminta agar pengertian keluarga disesuaikan dengan yang tercantum dalam UUD NRI 1945.
“Sejak awal saya mengusulkan agar RUU ini tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, termasuk soal definisi keluarga, maka definisi keluarga di RUU KIA mestinya diikat dengan kalimat melalui perkawinan yang sah, sebagaimana terdapat di Pasal 28 ayat(1) UUD NRI 1945,” katanya dalam keterangan pers kepada Parlementaria, Rabu (27/3/2024).
“Pada pembahasan awal forum panja, usulan tersebut telah disetujui. Namun anehnya ketentuan konstitusi dengan frasa perkawinan yang sah tersebut justru hilang pada draft akhir RUU KIA yang diserahkan oleh Panja Pemerintah kepada Komisi VIII DPR RI di rapat pengambilan keputusan hari ini,” imbuhnya dalam Rapat kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri PPPA Bintang Puspayoga.
Pria yang akrab disapa HNW tersebut mengingatkan agar pemerintah mengacu pada payung hukum UUD NRI 1945 dalam merumuskan suatu RUU. Dengan begitu produk UU yang dihasilkan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Anggota DPR RI Fraksi PKS ini menduga tidak dimasukkannya frasa perkawinan yang sah ke dalam definisi Keluarga di RUU KIA, karena Pasal 28B ayat (1) yang jelas-jelas terkait pengaturan keluarga, justru tidak dimasukkan dalam dasar hukum pembentukan RUU KIA. Padahal, Pasal 28B ayat (2) turut dimasukkan ke dalam dasar hukum. Sehingga seharusnya antara ayat(1) dan (2) Pasal 28B merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
“Ibu dan anak yang menjadi pengaturan RUU ini adalah hubungan yang timbul dalam keluarga, sehingga seharusnya dimasukkan pula hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan sebagaimana ditegaskan Pasal 28B ayat (1), baru kemudian hak anak sebagaimana di ayat (2) nya. Maka sangat penting memasukkan pasal 28B ayat 1 itu ke dalam point menimbang,” papar HNW.
Selanjutnya dia juga menegaskan pentingnya hak cuti bagi suami yang istrinya melahirkan. Apalagi setelah muncul kasus pilot yang tertidur karena kelelahan membantu sang istri yang melahirkan.
HNW mengatakan sejumlah usulan dari fraksi PKS telah diakomodir dalam RUU yang secara khusus mengurusi Ibu dan kesejahteraan anak pada 1.000 hari pertama kehidupan, serta masa keemasan bagi tumbuh kembang anak.
Sebut saja terkait dikabulkannya hak bimbingan keagamaan bagi setiap Ibu bukan hanya bimbingan kejiwaan, fisik maupun sosial, hak bagi ibu dan/atau anak penyandang disabilitas, kesempatan dan fasilitas menyusui yang layak bagi ibu yang bekerja, cuti hingga 6 bulan bagi Ibu melahirkan.
Selain itu juga pencatatan donor ASI sehingga tidak mencegah perkawinan di antara saudara persusuan, dan kehadiran negara melalui lembaga asuhan anak bagi anak yang orang tua dan/atau keluarganya meninggal dunia.
“Dengan kondisi tersebut, Fraksi PKS menyatakan menyetujui untuk disahkan, dengan catatan. kami akan terus mengawal agar draf akhir RUU KIA yang dibawa ke forum pengambilan keputusan tingkat I pada Rapat Paripurna DPR nantinya sudah memasukkan catatan-catatan yang kami sampaikan tersebut. (Ini) demi kebaikan ibu dan anak, dan agar UU yang baik ini bisa dilaksanakan karena tidak bertentangan dengan konstitusi,” pungkasnya. •tn/aha