PARLEMENTARIA, Depok – Komisi VIII DPR RI mendukung Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) menjadi salah satu universitas di yang memiliki standardisasi pendidikan Islam berkelas dunia. Dengan harapan, UIII menjadi tempat tujuan belajar studi Islam dari beberapa negara muslim di dunia.
“Mudah-mudahan UIII betul-betul ke depan bisa menjadi sebuah kampus yang mendunia ya, katakanlah seperti Universitas Al-Azhar, karena Indonesia ini kan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia, tetapi kita selama ini lebih banyak belajar Islam itu ke Timur Tengah, bahkan ke Amerika dan Kanada,” ujar Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi setelah memimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VIII DPR RI ke UIII di Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (26/3/2024).
“Mudah-mudahan UIII betul-betul ke depan bisa menjadi sebuah kampus yang mendunia ya, katakanlah seperti Universitas Al-Azhar,”
Kemudian Ashabul menjelaskan maksud dan tujuan Tim Komisi VIII ke UIII adalah melakukan fungsi pengawasan untuk memastikan bahwa program moderasi beragama yang merupakan program prioritas nasional Kementerian Agama RI dapat dilaksanakan secara tepat dan menyeluruh.
“Kunjungan kerja hari ini dalam kaitannya dengan moderasi beragama dan tentu salah satu informasi yang kami dapatkan adalah melalui lembaga perguruan tinggi agama dan ini kami memilih UIII yang tentu memiliki spektrum yang berbeda dengan lembaga pendidikan agama lainnya, karena di sini kan bersifat internasional, sehingga informasi yang ada di sini lebih plural, lebih majemuk dan lebih beragam,” ujar Ashabul.
Lebih lanjut, Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu, mendapatkan sejumlah kendala dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di UIII. Yang pertama, terkait dengan visa mahasiswa asing yang belajar di UIII. Karena selama ini mahasiswa asing yang belajar di UIII menggunakan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) yang tiap satu harus diperbarui masa berlakunya.
Kemudian yang kedua adalah kesulitan merekrut atau meng-hire dosen asing karena keterbatasan anggaran. Terakhir, sulitnya menjadikan dosen asing menjadi dosen tetap di Indonesia. Pasalnya salah satu syarat menjadi dosen asing harus menjadi warga negara Indonesia.
“Visa student itu perlu, jadi mereka datang ke sini kan, kalau mahasiswa itu kan lima tahun, kalau selama ini kan hanya visa kerja kan, kalau visa kerja kan tiap tahun harus diperbarui. Kemudian memang tadi ada sedikit kendala oleh keterbatasan dosen, memang enggak mudah juga itu,” ujar Ashabul.
Oleh sebab itu, Komisi VIII DPR, kata Ashabul, akan menindaklanjuti masukan tersebut dengan pihak terkait agar UIII bisa menjadi salah satu universitas studi Islam di Indonesia yang menjadi destinasi tujuan pelajar manca negara belajar studi Islam. “Saya kira itu yang perlu kita komunikasikan, tadi kan ada tiga usul yang harus saya mendukung,” tutup Ashabul.
Sebelumnya Plt Rektor UIII Prof. Dr. Jamhari menyampaikan sejumlah kendala dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di UIII. Seperti persoalan visa student, dimana mahasiswa asing di kampusnya masih memakai Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS). Implikasinya, setiap tahun mereka harus memperbarui visanya dan untuk memperbarui visa itu cukup mahal sekitar Rp5 juta.
“Kami juga kesulitan untuk meng-hire dosen luar negeri, baru ini kita baru bisa mengkontrak dua tahun, sehingga kita kesulitan mendatangkan dosen luar negeri yang mayoritas tidak mau dikontrak selama dua tahun,” sebut Jamhari.
Kemudian yang ketiga, yaitu dosen-dosen luar negeri yang mengajar di UIII ini belum bisa dimasukkan menjadi dosen tetap di kampus. Disebabkan, untuk mendapatkan nomor induk dosen nasional bersyaratkan kewarganegaraan Indonesia. •qq/aha