Kunjungi Lembaga Penjamin Simpanan AS, Puteri Komarudin Gali Strategi Resolusi Bank Gagal
- 0
- 2 min read
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin saat mengikuti Kunjungan Kerja Komisi XI DPR RI ke Kantor Pusat FDIC, Washington DC, AS. Foto: Ist/nr.
Sepanjang tahun 2023, Amerika Serikat (AS) didera persoalan kebangkrutan sejumlah bank besar, diantaranya Silicon Valley Bank (SVB) hingga Signature Bankof New York (SBNY). Fenomena bank gagal ini turut memicu kekhawatiran di pasar keuangan global.
Akan tetapi, Lembaga Penjamin Simpanan AS atau Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) mampu meredam hal tersebut melalui upaya resolusi bank gagal. Untuk itu, Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin turut mengapresiasi keberhasilan tersebut.
“Kita patut belajar bagaimana AS mampu mengatasi situasi genting akibat penarikan simpanan di bank besar-besaran secara cepat atau dikenal sebagai bank run. Kejadian ini kemudian mengakibatkan kolapsnya sejumlah bank besar di AS hingga mengguncang pasar keuangan global. Namun, FDIC mampu mengatasi fenomena bank gagal ini dengan menempuh upaya resolusi yang menjamin pengembalian simpanan seutuhnya, bahkan simpanan yang melebihi batas penjaminan,” ungkap Puteri dalam Kunjungan Kerja Komisi XI DPR RI ke Kantor Pusat FDIC, Washington DC, AS, Senin (10/10/2023) waktu setempat.
Dalam pertemuan tersebut, Puteri juga mempertanyakan terkait strategi FDIC dalam memenuhi pengembalian simpanan nasabah di bank gagal, khususnya simpanan nasabah yang melebihi batas penjaminan FDIC sebesar 250 ribu dolar AS per deposan per bank.
“Porsi simpanan yang tidak terjamin karena melebihi batas penjaminan di kedua bank ini ternyata cukup besar. Untuk itu, bagaimana strategi FDIC dalam memulihkan simpanan nasabah tersebut. Apakah nantinya FDIC juga akan mempertimbangkan untuk meningkatkan batas penjaminan untuk mengakomodir porsi deposan dengan jumlah yang lebih besar,” tanya Puteri.
Lebih lanjut, Politisi dari Fraksi Golkar ini mengungkapkan suatu bank tidak hanya penting dalam memenuhi kebutuhan permodalan, tetapi juga harus disertai dengan kemampuan tata kelola yang baik untuk mencegah timbulnya moral hazards.
“Kegagalan SVB terjadi karena persoalan kurangnya manajemen dalam mengantisipasi risiko suku bunga dan pengelolaan likuiditas yang memadai. Begitupun, pada kasus SBNY yang mengabaikan rekomendasi dari FDIC. Padahal, SBNY tumbuh pesat akibat simpanan yang tidak terjamin, tapi tidak diiringi dengan manajemen likuiditas yang baik,” urai Puteri.
Berkaca pada kasus kegagalan SVB dan SBNY, Puteri berharap Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) beserta otoritas lainnya di Indonesia bisa meningkatkan pengawasan dan pengaturan, khususnya terhadap manajemen risiko likuiditas untuk mencegah kejadian terulang kembali. •ann/aha
- Komisi XI
- Seputar Isu