DPR RI Tanggapi Uji Materi UU Kejaksaan
- 0
- 4 min read
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan usai mewakili DPR dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) pada Senin (12/6/2023). Foto: Prima/Man.
Jaksa Agung merupakan pejabat negara yang bertindak sebagai pimpinan serta penanggung jawab tertinggi dari kejaksaan. Jaksa Agung bertindak sebagai pengendali pelaksana tugas dan wewenang kejaksaan di Indonesia. Dalam pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman dan bagian dari lembaga pemerintah, kejaksaan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan yang mewakili DPR dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) pada Senin (12/6/2023). Sidang kelima Perkara Nomor 30/PUU-XXI/2023 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah. Perkara ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntut atau Calon Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai.
Lebih lanjut, Arteria mengungkapkan, bahwa berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 pada intinya menempatkan Penuntut Umum sebagai pengendali perkara sekaligus menjalankan tugas penuntutan. Dalam melaksanakan tugas dalam bidang penuntutan ini, kewenangan kejaksaan dapat menentukan suatu perkara dapat dilanjutkan atau tidak ke pengadilan. Hal ini, sambung Arteria, memiliki arti penting dalam menyeimbangkan aturan yang berlaku. Pengaturan iin dibuat juga untuk menyelaraskan fungsi kejaksaan dengan instrumen internasional.
“Perubahan undang-undang ini dilakukan untuk memperkuat independensi dalam proses penuntutan serta memberikan perlindungan yang lebih baik kepada jaksa. Dalam menjalankan tugasnya, jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pengaturan ini merupakan hasil kesepakatan pembuat undang-undang. Oleh karena itu, presiden tidak akan mengangkat orang tidak profesional dan kompeten di bidangnya untuk menduduki jabatan kejaksaan agung,” katanya dalam sidang yang dihadiri secara daring di Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI.
“Meski tidak ada mekanisme baku pengangkatannya, jaksa agung tidak terlepas dari pengawasan banyak pihak dalam menjalankan tugasnya. Salah satunya, pertanggungjawaban tugasnya dilakukan di hadapan presiden dan DPR RI dengan menerapkan prinsip akuntabilitas sehingga prinsip check and balance tetap terpenuhi,” jelas Arteria dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Dalam sidang juga membahas mengenai proses pengangkatan Jaksa Agung yang tidak sama dengan penegak hukum lainnya. Dimana, Jaksa Agung langsung diangkat oleh Presiden sementara petinggi penegak hukum lainnya melalui fit and proper test. “MK memberikan respon luar biasa, pentingnya proses fit and proper test dalam wujud pelaksanaan fungsi check dan balance calon pemimpin pejabat negara yang menduduki posisi strategis. Ini akan menjadi bahan pengkajian dan pencermatan kami,” jelasnya.
Pada sidang terdahulu, Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 dan angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sebab, bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS. Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan.
Berikutnya, pemohon juga meminta agar Mahkamah memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai oleh adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan Check and balances. Hal ini dapat berakibat pada gangguan independensi Kejaksaan Agung RI sebagai penegak hukum di Indonesia
Menurut pemohon, Pasal 20 UU Kejaksaan membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak pernah mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung. Padahal, kisah Yovi, pemohon sendri telah bersusah payah merintis karir sebagai seorang Analis Penuntutan selama 1-2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan agar dapat diangkat sebagai seorang jaksa.
Sehingga norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 3, pasal 19 ayat (2), pasal 20 dan Pasal 21 U Kejaksaan bertentangan dengan UU 1945. •rnm/aha