E-Media DPR RI

Anggaran Rp50 Miliar dari Kementerian Dikti Tidak Sebanding dengan Skala Bencana Sumatra!

Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Mendiktisaintek RI serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025). Foto : Septamares/Andri.
Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Mendiktisaintek RI serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025). Foto : Septamares/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta 
— Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad menilai alokasi bantuan penanganan bencana dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) senilai Rp50 miliar terlalu sedikit dan tidak sebanding dengan skala bencana yang melanda tiga provinsi dan berdampak pada banyak perguruan tinggi. Menurutnya, jumlah tersebut terlalu kecil untuk kondisi darurat dan berpotensi tidak efektif menjawab kebutuhan di lapangan.

“Saya agak kaget, bantuan yang dikeluarkan oleh (Kementerian) Dikti (hanya) 50 miliar. Nampaknya terlalu kecil untuk sebuah bencana (dengan skala besar). Karena 50 miliar untuk 3 provinsi dan mencakup beberapa perguruan tinggi, itu bisa kita bayangkan per proposal 500 juta. Itu kan terlalu kecil, karena ini sebuah kondisi yang sangat darurat,” ujar Habib dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) RI serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025).

Habib bahkan menyarankan agar anggaran tersebut ditingkatkan secara signifikan, setidaknya hingga sepuluh kali lipat, agar penanganan bencana di sektor pendidikan dapat berjalan lebih optimal dan benar-benar menyentuh kebutuhan dasar masyarakat serta sivitas akademika terdampak.

Selain soal besaran anggaran, Habib menekankan pentingnya pengawalan bantuan agar penyalurannya benar-benar efektif, adaptif, komprehensif, adil, dan merata. Ia menyoroti masih terbatasnya akses air bersih dan sanitasi di wilayah bencana, meskipun sejumlah inovasi telah dikembangkan oleh perguruan tinggi dan lembaga riset.

“ITB dengan teknologi green ultrafiltrasi, BRIN dengan teknologi berbasis arsinum, itu semua sangat baik. Tapi faktanya, laporan yang kami terima, cakupannya belum sampai 20 persen wilayah terdampak. Banyak masyarakat yang akhirnya terpaksa minum air banjir untuk bertahan hidup,” ungkapnya.

Habib juga menyoroti perlunya optimalisasi dapur umum. Selama ini, dapur umum banyak dijalankan oleh TNI dan pihak terkait lainnya. Namun, ia menilai perguruan tinggi juga dapat berperan lebih aktif dengan difungsikan sementara sebagai pusat dapur umum guna memperluas jangkauan layanan bagi korban bencana.

Tak kalah penting, Habib mengingatkan pemerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap aspek dukungan psikologis bagi korban bencana. Menurutnya, dampak trauma yang dialami masyarakat tidak berhenti saat fase tanggap darurat berakhir, melainkan bisa berlangsung dalam jangka panjang.

“Kami berharap dukungan psikologi dari perguruan tinggi tidak hanya diberikan pada saat bencana terjadi, tapi minimal satu tahun. Kami menerima laporan adanya trauma berat, bahkan sampai ada warga yang ingin mengakhiri hidupnya karena merasa tidak ada lagi harapan ke depan,” kata Habib.

Dalam konteks pendidikan tinggi, Habib menyatakan dukungannya terhadap pemberian beasiswa darurat serta keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa terdampak bencana. Ia bahkan mengusulkan agar UKT dibebaskan sementara selama satu tahun sebagai bentuk kehadiran negara dalam situasi krisis.

Lebih lanjut, Habib menekankan urgensi pencanangan dana revitalisasi secara dini untuk memastikan proses perkuliahan dapat berjalan kembali secara efektif. Menurutnya, dana revitalisasi untuk wilayah terdampak bencana tidak bisa disamakan dengan skema pendanaan pada tahun-tahun normal, mengingat kondisi infrastruktur pendidikan yang rusak berat.

Pada aspek jangka panjang, Habib mendorong adanya integrasi kurikulum kebencanaan di perguruan tinggi. Ia menilai kurikulum yang berlaku saat ini belum sepenuhnya dirancang untuk merespons situasi darurat, sehingga perlu penyesuaian agar lebih adaptif terhadap risiko bencana.

Ia juga mengusulkan agar BRIN ke depan memiliki pusat kajian dan laboratorium kebencanaan yang lebih terintegrasi. Menurutnya, data dan analisis ilmiah yang dihasilkan BRIN tidak cukup hanya menjadi arsip internal, tetapi harus dikomunikasikan secara lintas kementerian agar menjadi dasar pengambilan kebijakan nasional.

Selanjutnya, Politisi Fraksi PKB itu turut menyinggung pentingnya skema pendataan riset terbuka serta penguatan jejaring riset kebencanaan baik di tingkat nasional maupun internasional. Ia mempertanyakan mengapa hingga kini pemerintah belum secara tegas mendeklarasikan status bencana nasional, padahal dampaknya meluas dan membutuhkan penanganan lintas sektor.

“(Ke depan), kita butuh legal framework yang jelas. Setiap kebijakan harus punya cantolan hukum, supaya ketika kita melangkah, itu ada dasar dan payung hukumnya,” pungkas Habib. •ecd/rdn