Anggota DPR RI, H.M. Giri Ramanda N. Kiemas, mewakili Fraksi PDI-Perjuangan menyerahkan pandangan terkait RUU BPIP kepada Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco pada Rapat Paripurna. Foto: Arifman/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) resmi ditetapkan menjadi usul inisiatif DPR RI dalam Rapat Paripurna ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026. Keputusan ini diambil setelah delapan fraksi menyampaikan pendapat akhirnya dengan memberikan penekanan pada urgensi penguatan hukum dan independensi lembaga.
Fraksi PDI-Perjuangan, melalui juru bicara H.M. Giri Ramanda N. Kiemas, menegaskan bahwa perubahan status hukum dari Perpres menjadi Undang-Undang adalah langkah strategis guna mengakhiri hambatan ego sektoral antar-lembaga. Giri menyatakan bahwa BPIP tidak boleh menjadi pemegang monopoli tafsir atau “polisi Pancasila,” melainkan harus berperan sebagai fasilitator yang partisipatif.
“BPIP berperan sebagai Koordinator, Fasilitator, dan Orkestrator pembinaan ideologi Pancasila yang pelaksanaannya bersifat partisipatif dan dilaksanakan secara gotong royong,” tegas Giri dalam rapat yang berlangsung di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, Senayan, Senin (9/12/2025).
Sejalan dengan hal itu, Fraksi Partai Golkar menekankan pentingnya instrumen pembinaan yang lebih sistemik untuk menghadapi tantangan radikalisme dan ideologi transnasional. Juru bicara Fraksi Golkar, Karmila Sari, mengusulkan perubahan nomenklatur agar fokus regulasi beralih dari sekadar pendirian lembaga menjadi fokus pada kebijakan pembinaan.
Dukungan terhadap penguatan legitimasi juga disuarakan oleh Fraksi Partai NasDem dan Fraksi PKB. Juru bicara Fraksi PKB, Rina Sa’adah, menyoroti urgensi BPIP sebagai garda terdepan dalam mitigasi paham ekstremisme dan disinformasi di era digital. PKB pun mendorong adanya konsep “Ekonomi Pancasila” yang inklusif sebagai manifestasi sila kelima.
Sedangkan, NasDem menambahkan bahwa BPIP harus menjadi lembaga yang modern dan transparan tanpa harus berubah menjadi kementerian yang birokratis. Senada, Fraksi Partai Gerindra melalui Juru Bicaranya, Melati, mengingatkan agar pembinaan ideologi tidak menggunakan pendekatan indoktrinasi. Gerindra menekankan bahwa metode yang digunakan harus relevan bagi generasi muda.
“Kita harus memastikan bahwa penguatan BPIP tidak menggunakan pendekatan indoktrinasi, namun harus dilakukan dengan pendekatan dialogis, partisipatif, dan relevan dengan generasi muda,” ujarnya.
Di sisi lain, Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat memberikan catatan tebal mengenai netralitas lembaga. Yanuar Arif Wibowo dari PKS mendesak agar BPIP menjadi lembaga independen yang tidak berada langsung di bawah kendali eksekutif demi menjaga independensinya. PKS dan Demokrat juga kompak mengapresiasi dicantumkannya Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 mengenai larangan komunisme sebagai pijakan ideologis utama dalam RUU tersebut.
Kekhawatiran akan pembatasan kebebasan berpendapat disoroti oleh Fraksi PAN. Andi Yuliani Paris selaku Juru Bicara memperingatkan agar mekanisme monitoring dan evaluasi tidak berubah menjadi alat kontrol pemikiran atau indoktrinasi. Menutup rangkaian pandangan, Fraksi Partai Demokrat melalui Raja Faisal Manganju Sitorus menuntut adanya indikator keberhasilan yang terukur agar DPR dapat melakukan pengawasan secara transparan.
Secara kolektif, fraksi-fraksi menyetujui RUU BPIP dilanjutkan ke tahap pembahasan berikutnya dengan harapan lahirnya regulasi yang mampu membumikan nilai Pancasila melalui partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). •ujm/aha