Anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, saat mengikuti Seminar Perempuan Antikorupsi dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025, di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Provinsi DIY, Senin (8/12/2025). Foto: Wilga/vel.
PARLEMENTARIA, Yogyakarta – Anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan pentingnya pembenahan data dasar negara sebagai fondasi utama pembangunan dan pemberantasan korupsi. Hal ini ia sampaikan usai mengikuti Seminar Perempuan Antikorupsi dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025, di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Provinsi DIY, Senin (8/12/2025).
Acara tersebut diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang bekerja sama dengan Kementerian-PPPA dengan turut mengundang pihak Sekretariat Jenderal DPR RI.
Dalam pernyataannya, Rieke menyoroti bahwa salah satu perjuangan mendasar dalam pemberantasan korupsi dan penanganan bencana adalah memastikan negara memiliki data yang akurat, komprehensif, dan terintegrasi.
“Salah satu perjuangan penting dan mendasar adalah membenahi data dasar negara, termasuk data dasar untuk rekonstruksi dan rehabilitasi bencana alam yang saat ini terjadi. Perlu ada data yang komprehensif,” ujar Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Rieke menjelaskan bahwa data dasar negara merupakan hasil integrasi antara data geospasial dan data sosial-ekonomi, yang harus menjadi acuan dalam seluruh tahapan kebijakan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, hingga pengendalian.
Menurutnya, data tersebut harus menggambarkan kondisi nyata kehidupan rakyat, terutama masyarakat di desa dan kelurahan sebagai basis populasi Indonesia.
“Data dasar itu adalah data yang menunjukkan kondisi real, kehidupan real, dan potensi real rakyat Indonesia. Dan inilah yang harus menjadi acuan pembangunan,” tegas Anggota Komisi VI DPR RI ini.
Dalam kesempatan itu, Rieke juga berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan perhatian lebih terhadap persoalan pembenahan data nasional. Ia menilai persoalan seperti ketidakjelasan data terkait konsesi dan konservasi lahan menjadi celah terjadinya korupsi.
“Bicara soal konsesi lahan saja, semuanya kira-kira. Ada berapa lahan yang diberikan? Semua tidak jelas. Kalau mau memberantas korupsi, perbaiki dulu data dasar negara,” ungkapnya.
Rieke menyoroti bahwa saat ini kewenangan pengelolaan data berada pada Badan Pusat Statistik (BPS), namun lembaga tersebut dinilainya belum memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan data geospasial dengan data numerik dan sosial ekonomi secara menyeluruh.
“Kalau memang data BPS itu sudah kukuh, buktinya sekarang mau menyalurkan bantuan bencana saja tidak tahu titik koordinatnya,” ujar Rieke.
Rieke mengungkapkan dirinya telah berkoordinasi dengan berbagai pihak yang tengah bekerja di lapangan, termasuk TNI, dan menemukan fakta bahwa penyaluran bantuan terhambat akibat tidak adanya sistem data yang terhubung dengan peta geospasial.
“Bantuan ada, tapi menyalurkannya susah karena tidak ada data dasar yang terintegrasi. Data seolah hanya muncul saat sensus atau jelang pemilu untuk penyusunan DPT,” pungkasnya. •we/rdn