Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih saat mengikuti kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR RI ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (27/11/2025). Foto : Ysm/Andri
PARLEMENTARIA, Magelang — Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menegaskan bahwa penerapan konsep physical carrying capacity atau daya dukung fisik harus menjadi standar baku dalam pengelolaan seluruh cagar budaya di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam kunjungan spesifik Komisi X DPR RI ke Candi Borobudur, di mana ia meninjau langsung kondisi pelestarian pada salah satu situs budaya terpenting di dunia.
Dalam kesempatan tersebut, Fikri menyampaikan bahwa Candi Borobudur sebagai warisan dunia UNESCO memerlukan pengelolaan yang tidak hanya mengutamakan kunjungan wisata, tetapi juga perlindungan fisik bangunan. Ia menjelaskan bahwa pengaturan jumlah pengunjung sudah dilakukan dengan ketat, termasuk pembatasan kunjungan di area stupa paling atas.
“Konon katanya ada sekitar 4.000 orang setiap hari, dan diatur supaya di stupa paling atas itu hanya 120 orang setiap jam. Ini ada hitungannya. Karena konsep daya dukung dan daya tampung itu bagian dari pelestarian,” jelasnya usai mengikuti kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR RI ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (27/11/2025).
Ia menegaskan bahwa penerapan physical carrying capacity bukan hanya kebutuhan, melainkan keharusan untuk memastikan situs budaya tetap lestari dalam jangka panjang. Karena itu, standar pengelolaan seperti di Borobudur semestinya diterapkan juga di seluruh cagar budaya di Indonesia, termasuk yang berada di luar Jawa. “Candi Borobudur InsyaAllah sudah melakukannya, dan kita berharap ini bisa diimplementasikan di cagar budaya lain,” tegasnya.
Fikri menyoroti bahwa dalam pemanfaatan cagar budaya sering kali muncul tarik-menarik kepentingan antara aspek ekonomi dan pelestarian. Ketika pariwisata menjadi prioritas, sering kali jumlah kunjungan menjadi faktor utama yang dikejar.
Padahal, tanpa pengaturan yang ketat, beban fisik terhadap struktur bangunan dapat menyebabkan kerusakan yang sulit dipulihkan. “Kita ingin banyak orang datang, tetapi pelestarian harus menjadi fondasi. Karena cagar budaya bukan hanya aset ekonomi, tetapi warisan identitas bangsa,” tambahnya.
Selain aspek daya dukung, Fikri juga menyinggung rumitnya tata kelola Borobudur yang melibatkan banyak lembaga sekaligus. Mulai dari pemerintah kabupaten dan provinsi, PT Taman Wisata Candi (TWC), Balai Konservasi Borobudur (BKB), Kementerian Kebudayaan, hingga Kementerian Pariwisata. Kondisi ini, menurutnya, menyebabkan pengelolaan sering tidak berjalan optimal karena perbedaan kepentingan dan tumpang tindih kewenangan. “Dulu ada istilah single management. Nah, menuju ke sana prosesnya seperti apa? Kabupaten tidak tahu, provinsi tidak tahu, sementara pusat punya kontrol lewat berbagai kementerian,” ujarnya.
Panja Cagar Budaya Komisi X DPR RI, lanjut Fikri, hadir untuk menggali lebih dalam persoalan tersebut sekaligus menghimpun masukan dari para pemangku kepentingan. Hasil kunjungan ini menjadi bagian dari evaluasi menyeluruh terhadap UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang menurutnya perlu direviu karena beberapa ketentuannya dianggap sudah tidak relevan dengan dinamika saat ini.
“Undang-undang ini harus kita evaluasi. Apakah masih memadai atau perlu direvisi? Termasuk dari sisi manajemen, agar pemanfaatan dan pelestarian bisa berjalan seimbang,” ujarnya.
Fikri juga menekankan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya luar biasa. Banyak situs bersejarah berada di bawah pengelolaan PT TWC, termasuk Prambanan dan Ratu Boko, serta sejumlah situs lain di berbagai daerah. Dengan potensi sebesar itu, penerapan standar pelestarian seperti physical carrying capacity menjadi sangat penting agar nilai budaya tidak rusak oleh aktivitas wisata yang berlebihan.
“Kita ini kaya raya. Salah satunya kaya budaya. Dan budaya itu bukan hanya soal nilai sosial, tapi juga fisik yang luar biasa. Kita harus menjaganya agar tetap menjadi kebanggaan bangsa dan tetap mendunia,” tutupnya. •ysm/aha