E-Media DPR RI

Frasa ‘Penggunaan Wajar’ terkait Teknologi AI dalam RUU Hak Cipta Perlu Diperjelas

Anggota Baleg DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Harmonisasi RUU Hak Cipta di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025). Foto : Arifman/Han.
Anggota Baleg DPR RI Ledia Hanifa Amaliah dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Harmonisasi RUU Hak Cipta di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025). Foto : Arifman/Han.


PARLEMENTARIA, Jakarta 
– Badan Legislasi (Baleg) DPR RI terus melakukan pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Salah satu yang masih menjadi polemik dalam RUU tersebut adalah perlunya memperjelas definisi “penggunaan wajar” (fair use), khususnya terkait parodi, konten kreatif, serta karya yang dihasilkan melalui teknologi kecerdasan buatan (AI).

Merespons hal itu, Anggota Baleg DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mencontohkan pengalamannya berdialog dengan komunitas pembuat parodi yang mengaku selalu meminta izin kepada pencipta sebelum menggunakan unsur dari karya tersebut.

“Mereka mengatakan etikanya selalu meminta izin. Kalau tidak diizinkan, tidak dilakukan. Itu satu. Lalu ada pula parodi yang dipergunakan dalam pertunjukan, dan terkadang kalimat-kalimatnya diambil dari karya tertentu,” jelas Ledia dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Harmonisasi RUU Hak Cipta di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Ledia juga menyoroti tantangan baru dalam era digital, khususnya ketika karya dihasilkan atau dimodifikasi oleh AI. Menurutnya, banyak pihak berdalih bahwa hasil penggunaan karya bukan sepenuhnya buatan manusia, sehingga sulit menentukan pelanggaran dan potensi kerugian bagi pencipta.

“Sekarang orang berdalih, kan ini AI, bukan buatan kita. Ketika AI mulai meng-create, itu menjadi persoalan yang sulit untuk mengejarnya dan bisa merugikan pencipta,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Terkait definisi “penggunaan wajar”, Ledia menilai perlu ada kejelasan mengenai apakah istilah tersebut akan ditempatkan sebagai terminologi positif atau sebagai bentuk pengecualian dalam norma hukum.

“Kalau yang diusulkan Tenaga Ahli (terkait frasa penggunaan wajar) disebut pengecualian (norma hukum), berarti dari sekian banyak ketentuan ada yang dikecualikan. Sementara pengusul memberi pendekatan yang lebih positif, yaitu penggunaan tanpa izin dalam kondisi tertentu. Kita tinggal memilih rezim penulisannya seperti apa,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, pengusul RUU sekaligus Anggota Komisi X DPR RI Elfonda Mekel atau Once menyampaikan bahwa definisi penggunaan wajar harus menegaskan batasan yang berkaitan dengan penggunaan non-komersial. Ia menekankan bahwa beberapa peruntukan seperti pendidikan, penelitian, pemberitaan, kritik, dan pengutipan secara wajar telah diakui sebagai penggunaan yang diperbolehkan.

“Pada dasarnya ini definisi untuk aspek-aspek non-komersial. Untuk pemberitaan boleh, kritik boleh, pengutipan secara wajar boleh. Yang jadi pertanyaan adalah persoalan parodi. Untuk tujuan non-komersial tentu boleh,” ujar Once. •hal/rdn