Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta dalam sidang yang dilakukan secara virtual, di Gedung Setjen DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025). Foto : Sari/Andri.
PARLEMENTARIA, Jakarta – DPR RI menyatakan bahwa ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, serta Pasal 1320 butir 4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak bertentangan dengan undang-undang dasar Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Permohonan itu disampaikan dalam lanjutan sidang Pengujian Materiil UU 24/2009 terkait penggunaan bahasa dalam perjanjian, pada Perkara Nomor 173 dan 188/PUU-XXIII/2025.
Menjadi kuasa hukum DPR, Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, menegaskan bahwa kewajiban pencantuman Bahasa Indonesia merupakan unsur penting dalam menjaga kedaulatan hukum nasional. Menurutnya, aturan tersebut tidak hanya bersifat formal, tetapi menjadi instrumen perlindungan agar pihak Indonesia tidak dirugikan dalam hubungan kontraktual.
“(Namun demikian) kewajiban (penggunaan) Bahasa Indonesia tidak untuk menggugurkan kontrak berbahasa asing, tetapi untuk memastikan pihak Indonesia terlindungi dan tidak dirugikan oleh perbedaan pemahaman,” ujar Sudirta dalam sidang yang dilakukan secara virtual, di Gedung Setjen DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Legislator Fraksi PDI-Perjuangan ini menekankan bahwa ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak dapat ditafsirkan sebagai larangan atau penghalang terhadap penggunaan bahasa asing dalam perjanjian internasional. Dalam pasal tersebut keharusan mencantumkan versi Bahasa Indonesia adalah sebagai wujud penghormatan terhadap kedaulatan hukum nasional, dan bukan sebagai syarat yang mengakibatkan ketidakabsahan suatu perjanjian apabila versi bahasa asing juga digunakan.
Norma tersebut, tambahnya, sama sekali tidak menghapus atau membatalkan keberlakuan perjanjian yang dibuat dalam bahasa asing, sepanjang terdapat versi Bahasa Indonesia yang memiliki kedudukan hukum sejajar atau sebagai acuan resmi apabila terjadi perbedaan penafsiran.
“Justru, ketentuan ini memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi subjek hukum Indonesia agar memahami secara utuh hak dan kewajibannya dalam setiap hubungan kontraktual, baik domestik maupun internasional,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa ketentuan tersebut tergolong lex imperfecta, yakni norma tanpa sanksi, namun tetap memiliki kekuatan mengikat. Multitafsir yang muncul di lapangan, menurutnya, bukan disebabkan kelemahan norma, melainkan implementasinya.
“Tidak adanya sanksi bukan berarti normanya lemah. Justru norma ini memberi pedoman agar Bahasa Indonesia menjadi dasar kepastian hukum,” tegasnya.
Wayan turut menolak pandangan bahwa bahasa merupakan unsur syarat “sebab yang halal” dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ia menyebut bahasa tidak pernah menjadi faktor penentu sah atau tidaknya perjanjian perdata.
Ia mengingatkan, apabila permohonan pemohon dikabulkan dan kontrak berbahasa asing tanpa terjemahan dinyatakan batal demi hukum, maka hal itu justru bertentangan dengan prinsip perjanjian dalam KUH Perdata serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian baru.
“Memaksa kontrak berbahasa asing menjadi batal demi hukum hanya karena persoalan bahasa jelas tidak dimaksudkan pembentuk undang-undang,” pungkasnya. •ujm/rdn