Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia saat rapat Panja RUU Hak Cipta yang digelar di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Selasa (2/12/2025). Foto: Geraldi/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta—Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) Harmonisasi RUU tentang Hak Cipta terus memperdalam pembahasan substansi regulasi, khususnya pada penguatan definisi dan ruang lingkup ciptaan sebagai fondasi utama pengaturan. Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia menegaskan bahwa penajaman ketentuan umum menjadi kunci harmonisasi agar seluruh norma dalam RUU berjalan konsisten dan selaras dengan persoalan aktual perkembangan industri kreatif.
Maka dari itu, Doli menekankan bahwa posisi pengusul RUU memiliki dua fungsi krusial: memastikan substansi utuh sebagaimana naskah awal, serta mengawal agar rumusan yang dibahas tidak bergeser dari semangat pengaturan yang diinginkan.
“(fungsi) Pengusul itu, satu menyaksikan, kedua mengawal supaya substansi yang dibahas di sini tidak berubah,” ujarnya dalam rapat Panja RUU Hak Cipta yang digelar di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Selasa (2/12/2025),
Doli menilai bahwa ketentuan umum merupakan bagian paling strategis dalam rancangan undang-undang. Menurutnya, apabila definisi pada pasal-pasal awal telah tersusun komprehensif, maka separuh pekerjaan pembentukan UU sebenarnya telah terselesaikan.
“Ketentuan umum itu bicara tentang apa yang mau kita bahas dan definisinya. Kalau itu clear, ini sudah setengah pekerjaan membuat undang-undang,” tegasnya.
Ia mencontohkan definisi mengenai hak moral. Jika pengertian hak moral telah jelas pada ketentuan umum, maka pasal-pasal berikutnya tinggal mengatur implementasi serta langkah hukum bila hak tersebut dilanggar. Dengan demikian, ketentuan umum berfungsi sebagai peta konsep untuk keseluruhan norma dalam RUU Hak Cipta.
Doli mengingatkan bahwa harmonisasi tidak boleh mengubah substansi pengaturan yang telah dibangun pengusul. Karena itu, seluruh masukan dari tenaga ahli dan fraksi diarahkan pada penyempurnaan rumusan, bukan perubahan arah kebijakan.
“Kita fokus saja, apakah yang disusun pengusul dan ditanggapi TA ini sudah menggambarkan semua tentang undang-undang ini atau tidak,” katanya.
Dalam rapat tersebut, Doli juga mengkritisi beberapa poin substansi, di antaranya seperti definisi yang dianggap masih sempit cakupannya. Ia menyoal definisi potret yang terbatas pada objek manusia. Menurutnya, pengaturan seharusnya mampu melindungi karya fotografi dengan objek lain.
“Apakah potret hanya karya fotografi tentang manusia saja? Kalau foto tentang binatang, tentang alam, apakah itu tidak masuk? Sehingga memang coverage-nya harus lebih besar,” jelasnya.
Ia juga menyoroti posisi karya patung dan lukisan yang belum terakomodasi jelas dalam definisi awal. Doli mendorong agar pengaturan diperluas sehingga seluruh karya ciptaan, baik yang memiliki nilai artistik, dokumentatif, maupun komersial, memperoleh kepastian hukum yang setara.
Terkait perkembangan teknologi, Politisi Fraksi Partai Golkarnitu menyambut baik dimasukkannya definisi kecerdasan buatan (AI) dan meminta penyempurnaan redaksional sesuai istilah baku bahasa Indonesia.
Salah satu isu krusial yang mengemuka adalah penempatan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Kolektif Manajemen Kolektif (KMK). Doli menilai keberadaan dua lembaga ini tidak cukup hanya diatur pada pasal-pasal teknis, melainkan harus ditegaskan dalam ketentuan umum sebagai definisi dasar.
Menurutnya, pola pengelolaan performing rights yang saat ini berlaku pada sektor musik dapat dikembangkan untuk kategori ciptaan lain, seperti film, buku, fotografi, atau karya digital. “Pola yang diusulkan pengusul ini menjawab persoalan dunia musik, dan harus bisa kita adopt untuk karya ciptaan lainnya,” tegasnya.
Karena itu, ia mendorong agar RUU memasukkan kategori hak cipta selengkap mungkin, sehingga seluruh bentuk karya mendapatkan perlindungan tanpa harus menunggu revisi lanjutan. •hal/rdn