Anggota Komisi III DPR RI, Rikwanto, saat mengikuti Rapat Komisi III DPR RI bersama DPP GRANAT dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika, di Ruang Rapat Komisi III, Selasa (2/12/2025). Foto: Arief/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI, Rikwanto, menegaskan perlunya reformulasi pidana dalam penanganan kasus narkotika, setelah data menunjukkan bahwa 52,7 persen penghuni lapas di Indonesia merupakan narapidana narkotika. Hal ini disampaikan dalam Rapat Komisi III DPR RI bersama DPP GRANAT dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika, dalam rangka menerima masukan terhadap RUU Penyesuaian Pidana, di Ruang Rapat Komisi III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Rikwanto menjelaskan bahwa angka tersebut bukan hanya menunjukkan tingginya kejahatan narkotika, tetapi juga mencerminkan ketidakefektifan pendekatan pemidanaan yang selama ini diterapkan. Menurutnya, RUU Penyesuaian Pidana harus menjadi momentum untuk mengubah paradigma penanganan narkotika agar tepat sasaran.
“Kalau lebih dari separuh isi Lapas adalah kasus narkotika, kita harus berani bilang bahwa sistem pidana yang ada belum efektif. Ini bukan sekadar angka, ini alarm besar,” tegas Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Rikwanto menyoroti bahwa sebagian besar narapidana narkotika yang memenuhi lapas justru adalah pengguna dan kurir kecil, bukan bandar besar yang menjadi sumber persoalan. Kondisi ini, kata dia, menunjukkan bahwa hukum sering salah mengarahkan sanksi.
“Pengguna yang seharusnya direhabilitasi malah dipenjara, bercampur dengan jaringan peredaran. Ini membuat masalah semakin besar, bukan menyelesaikan,” ujarnya.
Ia menyebut kelebihan kapasitas lapas akibat gelombang masuknya pengguna narkotika telah melemahkan fungsi pembinaan dan membuat lapas tidak mampu menjalankan perannya secara maksimal.
Rikwanto memandang bahwa masukan dari GRANAT dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika yang hadir dalam rapat sejalan dengan kebutuhan revisi di lapangan, terutama penegasan bahwa pengguna harus diperlakukan sebagai korban, bukan pelaku kriminal.
“Masukan hari ini sangat penting. Kita perlu mendengar organisasi yang langsung melihat persoalan rehabilitasi, penyalahgunaan, dan demand di lapangan. RUU Penyesuaian Pidana harus mengarah ke penanganan yang lebih manusiawi dan efektif,” kata Rikwanto.
Menurutnya, kriminalisasi pengguna hanya akan memperparah permintaan narkotika. Sebaliknya, rehabilitasi yang kuat dan terstandar justru akan menurunkan ketergantungan dan memutus mata rantai permintaan.
“Demand reduction harus menjadi pondasi. Lapas penuh bukan karena bandar, tapi karena pengguna. Kalau ini tidak diperbaiki, peredaran narkotika tidak akan pernah selesai,” tegasnya.
Menutup paparannya, Rikwanto menegaskan bahwa RUU Penyesuaian Pidana menjadi ruang penting untuk memastikan pemidanaan benar-benar efektif. Ia mendorong agar pengguna kecil dialihkan ke rehabilitasi wajib, sementara penegakan hukum dipusatkan kepada bandar dan jaringan besar.
“Kalau kita ingin angka 52,7 persen itu turun, pemidanaan harus tepat sasaran. Revisi ini adalah momentum memperbaiki seluruh sistem, dari hulu sampai hilir,” tutupnya.
Diketahui, Komisi III DPR RI menegaskan urgensi penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana sebagai langkah fundamental untuk menjaga konsistensi dan kepastian hukum, khususnya dalam masa peralihan menuju pemberlakuan KUHP baru di 2026.
Anggota Komisi III DPR RI, Bob Hasan, menyampaikan bahwa keberadaan RUU ini menjadi instrumen vital agar tidak muncul ruang kosong dalam penegakan hukum, khususnya pada tindak pidana narkotika.
RUU Penyesuaian Pidana disusun untuk mengakomodasi pasal-pasal tertentu yang sebelumnya dicabut dari KUHP lama karena direncanakan akan dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Narkotika. Namun hingga kini, revisi UU tersebut belum tuntas, sementara KUHP baru telah menghapus beberapa ketentuan. Kondisi ini mengharuskan DPR dan pemerintah mengambil langkah cepat agar tidak terjadi kekosongan hukum yang dapat menghambat proses penindakan maupun peradilan. •fa/rdn