E-Media DPR RI

Dapur MBG di Bandung: Titik Temu Kritik dan Harapan

Anggota Komisi IX DPR RI Asep Romy Romaya saat mengikuti kunjungan kerja spesifik Komisi IX DPR RI, di Kabupaten Bandung, Senin (1/12/2025). Foto: Eko/vel.
Anggota Komisi IX DPR RI Asep Romy Romaya saat mengikuti kunjungan kerja spesifik Komisi IX DPR RI, di Kabupaten Bandung, Senin (1/12/2025). Foto: Eko/vel.


PARLEMENTARIA, Kabupaten Bandung
 — Pada Senin (1/12/2025), Asep Romy Romaya menyambangi sejumlah lokasi pelaksanaan MBG di Kabupaten Bandung. Hasil pantauannya, sekaligus laporan dari penerima manfaat dan masyarakat, memperlihatkan kondisi yang jauh dari kata ideal. “Ketika saya sita ke dapur, emang kenyataan seperti itu,” ujarnya, mengungkap dapur penyelenggara makanan bergizi yang menurutnya tak memenuhi standar operasional prosedur (SOP).

Temuan-temuan Asep tak ringan: dari tidak adanya persiapan bahan makanan sehari ke depan, hingga ketidakpastian stok untuk harapan makan berikutnya. “Persiapan untuk hari besok juga tidak ada,” katanya. Ketika ditanya soal bahan baku, jawaban yang diterima: “terus terang itu tidak ada.”

Lebih jauh, Asep menyinggung soal monopoli anggaran oleh sebagian pihak, dalam hal ini yayasan mitra pelaksana, sehingga dana tak digunakan optimal. “Ada kepala yayasan yang memonopoli terkait anggaran, sehingga tidak memaksimalkan anggaran tersebut,” katanya. Imbasnya: kualitas makanan, kuantitas, dan kontinuitas pelayanan terabaikan.

Akibatnya, sejumlah penerima manfaat sampai mempertanyakan layak-tidaknya makanan yang disediakan, bahkan mempertimbangkan menolak bantuan tersebut. “Sampai murid itu bertanya, bolehkah pindah atau saya menolak terkait makanan itu? Itu terserah, karena hak kalian,” sebut Asep.

Dengan nada tegas namun penuh tanggung jawab, Asep yang mewakili Komisi IX mendesak agar pihak pengelola, mitra, dan pemangku kepentingan menyusun aturan baku. Bila ada pelanggaran SOP, harus ada konsekuensi yang jelas. Tujuannya: menjamin MBG berjalan “aman, merata, dan berkualitas” bagi seluruh penerima manfaat.

Kekhawatiran Asep dan warga Bandung bukan tanpa dasar. Di tingkat nasional, Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkap bahwa sejak diluncurkan Januari 2025 hingga September 2025, terdapat sebanyak 6.517 kasus dugaan keracunan akibat MBG. Mayoritas kasus terjadi di Pulau Jawa, wilayah tempat Kabupaten Bandung berada. 

Akibat kejadian itu, BGN mengambil tindakan tegas: menonaktifkan sementara 56 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) penyelenggara MBG. Tak hanya itu, 106 dapur MBG juga dilaporkan ditutup sebagai bagian dari evaluasi besar-besaran terhadap pelaksanaan program. 

Dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Kepala BGN menyatakan bahwa mayoritas kasus keracunan terjadi karena ketidakpatuhan SPPG terhadap SOP yang telah ditetapkan. Sebagai langkah preventif, BGN kini menyerukan agar setiap SPPG memegang standar ketat: hanya dapur yang telah memenuhi ketentuan higienitas, sanitasi, distribusi, dan penyimpanan makanan yang boleh beroperasi. 

Respons dari Komisi IX tak hanya melalui Asep, sejatinya sudah mengarah pada reformasi serius. Sebelumnya, dalam rapat bersama BGN dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), DPR menyetujui alokasi anggaran besar untuk pengawasan, pengujian makanan, pelatihan, dan digitalisasi proses kontrol MBG yang lebih ketat. 

Saran dari internal Komisi IX, antara lain: pengelolaan MBG kembali diserahkan ke sekolah bukan ke yayasan luar, agar lebih mudah dikontrol dan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. Dukungan terhadap sanksi tegas juga tampak: BGN telah menyatakan siap menutup permanen SPPG yang terbukti bersalah berulang dalam keracunan. 

Menurut Pimpinan Komisi IX, langkah tersebut menunjukkan “political will” untuk melindungi anak-anak dan penerima manfaat MBG dari risiko kesehatan akibat kelalaian pengelolaan. 

Kunjungan dan temuan Asep di Kabupaten Bandung, meski memantik keprihatinan sesungguhnya bisa menjadi momentum perbaikan. Jika keputusan reforma diterjemahkan di lapangan dengan serius, MBG dapat kembali menempati posisi sebagai program strategis untuk memperbaiki gizi masyarakat.

Namun itu menuntut: transparansi pengelolaan, akuntabilitas mitra pelaksana, kedisiplinan menjalankan SOP, serta pengawasan nyata, bukan hanya di atas kertas. Bagi penerima manfaat di Bandung dan seluruh Indonesia, ini bukan sekadar soal “makanan gratis”, tapi soal hak dasar untuk mendapatkan makanan sehat, aman, dan bergizi.

Seperti kata Asep: jika ada pelanggaran SOP, harus ada aturan dan sanksi yang jelas, agar kualitas dan tujuan MBG sebagai intervensi gizi nasional benar-benar terwujud. •ssb/aha