E-Media DPR RI

Legislator Soroti Overlapping Kebijakan Tata Ruang dan Kriminalisasi Nelayan di Karimun

Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo saat mengikuti RDPU Komisi IV bersama Dewan Pengurus Yayasan Wahana Aksi Kritis Nusantara di ruang Komisi IV, Senin (1/12). Foto: Karisma/vel.
Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo saat mengikuti RDPU Komisi IV bersama Dewan Pengurus Yayasan Wahana Aksi Kritis Nusantara di ruang Komisi IV, Senin (1/12). Foto: Karisma/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta 
– Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi nelayan, khususnya di kawasan Karimun Jaya. Diketahui hingga saat ini, nelayan masih terjebak dalam konflik tata ruang dan lemahnya koordinasi antar-kementerian maupun pemerintah daerah.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IV bersama Dewan Pengurus Yayasan Wahana Aksi Kritis Nusantara (Waskita) Firman menyampaikan bahwa sekitar 70 persen masyarakat Karimun menggantungkan hidup pada sektor perikanan dan pelautan tradisional. Kondisi tersebut menurutnya serupa dengan wilayah pesisir lain seperti Sarang, Juwana, Bintan, dan Rempang.

Dari situ, Firman menyebut bahwa banyak persoalan muncul akibat overlapping kebijakan daerah, terutama dalam urusan tata ruang. Ia menilai implementasi otonomi daerah kerap mendorong kepala daerah lebih fokus mengejar peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sektor perikanan maupun pertanian.

“Bupati dan kepala daerah mengejar penerimaan daerah, sehingga begitu mudah merubah tata ruang. Alih fungsi lahan terjadi karena yang dilihat hanya siapa yang bisa memberi kontribusi besar,” tegas Firman dalam RDPU di Gedung Nusantara, Jakarta, Senin (1/12). 

Ia menyebut praktik semacam itu menyebabkan kawasan pesisir dan ruang tangkap nelayan semakin tergerus oleh perizinan yang diberikan untuk kepentingan industri lain.

Masalah lain yang disoroti Firman adalah kriminalisasi terhadap nelayan, yang menurutnya terjadi di berbagai daerah. Ia mengaku baru saja menangani kasus penangkapan kapal nelayan yang diperlakukan bak pelaku kejahatan besar.

“Perlakuannya seperti kriminal besar. Syukur bisa diselesaikan lewat komunikasi dan mediasi, tapi ini tidak boleh terus terjadi,” kata Firman.

Karena persoalan tata ruang melibatkan banyak lembaga mulai dari pemerintah daerah, BPN, Kementerian Dalam Negeri, hingga Komisi II DPR RI, Firman mengusulkan rapat gabungan lintas komisi dan kementerian. Ia mengakui bahwa Komisi IV tidak dapat langsung mengundang kementerian di luar mitra kerja tanpa izin pimpinan DPR.

“Masalah ini tidak bisa ditangani Komisi IV saja. Perlu koordinasi lintas komisi. Kami berharap pimpinan DPR dapat membuka ruang untuk rapat gabungan agar solusi komprehensif bisa dirumuskan,” ungkapnya.

Terakhir, Firman mengatakan  bahwa nelayan merupakan masyarakat yang paling terdampak kebijakan tata ruang dan harus dilindungi. “Mereka adalah masyarakat yang berhadapan langsung dengan dampak kebijakan. Kita harus mencarikan solusi, bukan membiarkan masalah berlanjut,” pungkasnya. •ujm/aha