Anggota Komisi VI DPR RI Budi Sulistyono Kanang saat mengikuti RDP bersama Direktur Utama PT Garuda Indonesia di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, (12/1/2025). Foto: Mahendra/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi VI DPR RI Budi Sulistyono Kanang mengingatkan jajaran direksi PT Garuda Indonesia bahwa keberhasilan pemulihan maskapai nasional tidak hanya bergantung pada suntikan dana restrukturisasi, tetapi pada kemampuan manajemen baru mendiagnosis dan menyembuhkan akar persoalan yang selama ini membebani kinerja perusahaan. Ia menilai Garuda berada dalam fase krusial dan memerlukan tata kelola yang lebih transparan, efisien, serta terukur agar penyakit lama tidak berulang.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI bersama Direktur Utama PT Garuda Indonesia di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, (12/1/2025), Budi menyoroti rencana penggunaan dana pemulihan yang dipaparkan direksi, yakni sekitar USD 1,4 miliar. Dari total tersebut, 47 persen dialokasikan untuk pemeliharaan armada Citilink, 37 persen untuk pemeliharaan pesawat Garuda, dan 16 persen dialokasikan untuk pembayaran kewajiban utang ke Pertamina.
Walakin, struktur pembiayaan itu justru menunjukkan titik masalah terbesar Garuda yang terletak pada biaya pemeliharaan pesawat karena dinilai tidak efisien. “Ini yang saya nggak ngerti, kok penyakitnya di pemeliharaan pesawat? Kalau tarif sama, manajemen sama, tapi pemeliharaan tidak masuk dalam cost production, ini penyakit. Kalau tidak diperbaiki, tiga sampai lima tahun lagi bisa muncul lagi,” ujarnya.
Budi menilai komponen harga pokok produksi (HPP) harus dihitung lebih realistis agar pemeliharaan tidak hanya menjadi pos pengeluaran, tetapi bagian integral dalam manajemen operasional yang sehat. Ia memperingatkan, tanpa perubahan struktur biaya dan penghitungan yang tepat, suntikan dana hanya akan menunda masalah, bukan menyelesaikannya.
Selain aspek teknis, Budi menyoroti lemahnya transparansi dalam pengambilan keputusan direksi. Ia menyebut kasus-kasus korupsi masa lalu bermula dari keputusan sepihak tanpa pengawasan dan keterlibatan komisaris.
“Direksi ini terlalu kuat. Kalau sudah ambil keputusan, langsung jalan. Komisaris tidak dimanfaatkan. Ada komisaris sampai mundur karena merasa tidak punya fungsi. Ini pembelajaran,” tegasnya.
Ia meminta agar struktur pengawasan, baik internal maupun eksternal, diperkuat, bukan hanya formalitas. Komisaris harus dilibatkan aktif, memberi kontrol, bukan sekadar tongkrongan jabatan. Budi juga membandingkan operasional Garuda dengan maskapai lain yang mulai berkembang agresif. Cost operationalGaruda disebut jauh lebih tinggi sehingga berpotensi tertinggal dalam persaingan pasar, bahkan ia sempat mengusulkan skenario ekstrem.
“Saya pernah bilang, sudah Garuda masuk Pelita saja, bukan Pelita masuk Garuda. Ini saking bingungnya saya,” ungkap Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.
Lebih jauh, merespons paparan direksi soal Transpositional Empowerment berbasis empat pilar: service, business, operational, digital, Budi menghargai konsep tersebut, tetapi menuntut implementasi konkret. Ia meminta agar Garuda tidak hanya memiliki visi transformasi, tetapi disertai roadmap yang rinci mulai dari target, tahapan, hingga ukuran keberhasilan.
“Empat pilar ini bagus, tapi roadmap-nya harus jelas. Yang dituju apa? Transformation service apa? Sampai goal-nya apa? Start-nya dari mana? Ada action plan, ada langkah-langkah yang jelas, semuanya,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Budi menegaskan bahwa DPR tidak hanya mengkritisi, tetapi siap ikut mengawal dan mengawasi proses pemulihan Garuda selama manajemen menunjukkan langkah yang nyata dan terukur. Menurutnya, jika hal ini dilaksanakan sungguh-sungguh, DPR dapat ikut mengawasi. Satu hal yang penting, katanya, jangan sampai nanti muncul permintaan dana baru lagi. •ecd/rdn