E-Media DPR RI

Habibur Rochman: Perlu Sinkronisasi Lintas Kementerian dalam Penyelesaian Status Honorer P3K

Anggota BAM DPR RI Muhammad Habibur Rochman dalam RDPU yang menghadirkan Aliansi Merah Putih, ADAPI, serta perwakilan masyarakat dari Kabupaten Malaka, NTT di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (26/11/2025). Foto : Septamares/Andri
Anggota BAM DPR RI Muhammad Habibur Rochman dalam RDPU yang menghadirkan Aliansi Merah Putih, ADAPI, serta perwakilan masyarakat dari Kabupaten Malaka, NTT di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (26/11/2025). Foto : Septamares/Andri


PARLEMENTARIA, Jakarta
 — Anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI Muhammad Habibur Rochman menekankan perlunya percepatan penyelesaian persoalan tenaga honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) melalui mekanisme yang lebih kuat dan terfokus di Komisi II DPR RI. Ia menilai, penanganan aspirasi terkait pengangkatan dan peningkatan status P3K akan lebih mudah dituntaskan jika melibatkan kementerian dan lembaga teknis secara langsung dalam satu meja koordinasi.

“Saya rasa permasalahannya akan lebih mudah diatasi ketika dibahas di Komisi II. Pak Ketua (BAM DPR RI) kebetulan (Anggota) di Komisi II, Insyaallah lebih diprioritaskan kalau itu menjadi atensi dari anggota (Komisi II) karena melihat keterbatasan kewenangan kita di BAM juga,” ujar Rochman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang menghadirkan Aliansi Merah Putih, ADAPI, serta perwakilan masyarakat dari Kabupaten Malaka, NTT, untuk membahas polemik pengangkatan P3K menjadi PNS di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (26/11/2025). 

Rochman menambahkan, keterlibatan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hingga perwakilan Pemerintah Daerah (Pemda), menjadi hal yang sangat krusial untuk memudahkan penyelesaian masalah tersebut. 

Selain berkaitan dengan hal itu, Rochman menegaskan bahwa P3K yang sudah ada saat ini merupakan bentuk apresiasi negara kepada masyarakat yang telah mengabdi, serta menjadi solusi transisi agar Indonesia tidak kembali ke pola kepegawaian honorer yang tidak terstruktur. Ia menyebut, pemerintah dan DPR perlu menyelesaikan tahapan penyerapan honorer menjadi P3K terlebih dahulu sebelum membuka ruang besar untuk peningkatan status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“Persoalan ini jika tidak ditangani secara serius maka kita akan kembali lagi ke zaman honorer. Nah, untuk sementara ini dengan segala tantangan dan keterbatasan anggaran, kita mencoba untuk memberikan apresiasi lewat yang namanya P3K (terlebih dahulu), baik yang penuh maupun paruh waktu, sambil melihat kondisi kemampuan fiskal,” tegas Rochman. Ia menambahkan, apabila pengangkatan honorer menjadi P3K sudah selesai, barulah diprioritaskan untuk naik status menjadi PNS.

Lebih jauh, Rochman memaparkan landasan kebijakan penghapusan honorer dan transisi menuju P3K. Pemerintah, jelasnya, melakukan pembatasan honorer karena kondisi anggaran daerah yang terserap besar untuk belanja pegawai, bahkan mencapai di atas 70 persen di beberapa wilayah. P3K dinilai sebagai solusi pengendalian beban fiskal sekaligus sarana seleksi berbasis kualifikasi.

“Kalau belanja pegawai terlalu besar, daerah membangun apa? Nah inilah yang kemudian menjadi koreksi pemerintah pusat supaya memberhentikan honorer, tetapi kemudian diangkat sebagian yang memang qualified untuk menjadi P3K,” papar Politisi Fraksi NasDem tersebut.

Dalam forum tersebut, Rochman turut menyoroti kasus yang terjadi di Kabupaten Malaka. Mereka mengadukan pembatalan pengangkatan sepuluh tenaga honorer lulus seleksi. Ia menilai isu seperti ini harus dibahas dalam forum resmi bersama Kemendagri, karena kepala daerah berada dalam koordinasi langsung kementerian tersebut. Rapat gabungan di Komisi II dinilai menjadi ruang paling strategis untuk menyelesaikan sengketa dan memastikan keadilan bagi tenaga yang telah lulus seleksi.

Dengan dorongan pembahasan lintas kementerian tersebut, Rochman berharap proses penyelesaian honorer ke P3K dan selanjutnya ke PNS tidak lagi terhambat dan menjadi sistem kepegawaian negara yang lebih rapi, adil, dan terukur. •ecd/rdn