E-Media DPR RI

Dewas BPKH Tak Relevan Bila Instrumen Dana Haji Tidak Risiko Tinggi

Anggota Baleg DPR RI, Saleh Partaonan Daulay dalam RDPU dengan Dece Kurniawan dari KNE dan Keuangan Syariah Anggito Abimanyu, terkait harmonisasi RUU tentang Pengelolaan Keuangan Haji di Senayan, Jakarta, Rabu (26/11/2025). Foto : Arifmen/Andri.
Anggota Baleg DPR RI, Saleh Partaonan Daulay dalam RDPU dengan Dece Kurniawan dari KNE dan Keuangan Syariah Anggito Abimanyu, terkait harmonisasi RUU tentang Pengelolaan Keuangan Haji di Senayan, Jakarta, Rabu (26/11/2025). Foto : Arifmen/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menyoroti keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) BPKH yang menurutnya tidak lagi relevan bila dana haji tidak ditempatkan pada instrumen investasi berisiko tinggi. Ia konsisten pada posisi bahwa dana jamaah tidak semestinya digunakan untuk investasi berisiko karena setoran awal, cicilan, dan pelunasan jamaah bukanlah dana yang diniatkan untuk tujuan komersial. Maka dari itu, Saleh mendorong agar investasi BPKH sebatas pada instrumen yang aman, sangat terukur, dan dimiliki pemerintah seperti sukuk negara.

“Kalau mau bisnis, ya bisnis saja. Jangan dana jamaah yang dipaksa ikut. Saya tidak mau dana ini berisiko,” tegasnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan dua narasumber utama, Dece Kurniawan dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah serta mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) periode 2017–2022, Anggito Abimanyu, terkait harmonisasi RUU tentang Pengelolaan Keuangan Haji di Senayan, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Dalam kesempatan itu, Saleh juga mempertanyakan urgensi struktur BPKH yang saat ini memiliki tujuh anggota. Menurutnya, komposisi tersebut terlalu besar dan memakan biaya tinggi karena gaji anggota diambil dari nilai manfaat dana haji. Ia mengusulkan jumlah itu dipangkas menjadi tiga orang saja agar nilai manfaat tidak habis untuk membiayai struktur kelembagaan.

“Jangan sampai dana yang seharusnya kembali ke jamaah malah habis untuk gaji pengurus,” tegasnya.

Selain itu, Saleh mengkritisi keberadaan unsur pemerintah dalam tubuh BPKH. Ia menilai BPKH harus dikelola profesional oleh pihak independen mengingat dana yang dikelola bukanlah uang negara, melainkan uang rakyat. Ia menekankan perlunya efisiensi, integritas, dan transparansi dalam pengelolaan dana haji.

Kepada Dece Kurniawan, Saleh menyoroti adanya penggunaan istilah Kementerian Agama dalam paparan, padahal secara regulasi telah dibentuk kementerian baru, yakni Kementerian Haji dan Umroh. Ia menegaskan nomenklatur harus disesuaikan dengan Undang-Undang baru agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam pelaksanaan teknis.

Lebih lanjut, Saleh meminta penjelasan mengenai alur transfer dana setoran jamaah yang diusulkan melalui Kementerian Haji sebelum masuk ke BPKH. Menurutnya, mekanisme tersebut perlu memiliki dasar filosofis yang jelas. Ia mendukung perbaikan sistem, namun menekankan urgensi penjelasan yang transparan agar tidak menambah kerumitan birokrasi.

Ia juga kembali menekankan pentingnya virtual account untuk menghitung nilai manfaat masing-masing jamaah secara adil berdasarkan waktu setoran. Menurutnya, teknologi perbankan saat ini sudah sangat memungkinkan perhitungan dilakukan secara presisi tanpa kerumitan.

Terkait mekanisme pertukaran mata uang untuk kebutuhan jamaah haji, Ia mempertanyakan mengapa jamaah tidak langsung diberikan Rupiah, mengingat rupiah sudah cukup diterima dalam berbagai transaksi di Arab Saudi. Dengan 221 ribu jamaah per tahun, menurutnya, skema tukar-menukar valas dalam jumlah besar harus dikaji ulang untuk mencegah potensi kerugian.

Apalagi pertukaran uang dari rupiah ke dolar kemudian jadi mata uang real menurutnya berpotensi pada gradasi dan penyusutan nilai uang. “Nanti tolong dikaji juga itu Pak. Boleh enggak kita kasih rupiah saja. Kalau memang bisa dibelikan nggak apa-apa kok. Biar nanti Saudi itu jadi ‘kota rupiah’ gitu loh. Jadi jangan hanya ‘kota real’, tapi ‘kota rupiah’,” dorongnya.

Dalam kesempatan itu, ia pun menegaskan bahwa pengalaman praktis para mantan pejabat sangat penting untuk memastikan substansi undang-undang baru tidak mengulang kelemahan sebelumnya. •hal/aha