Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra saat menyampaikan keterangan sidang MK pengujian materiil ketentuan UU terkait penganggaran lembaga yudikatif secara virtual dari Ruang Puspanlak, Selasa (25/11/2025). Foto: Arifman/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra menegaskan mekanisme pengelolaan anggaran Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melalui koordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian PPN/Bappenas adalah bagian dari sistem keuangan negara yang terpusat, terpadu, dan akuntabel. Dalam keterangannya mewakili DPR RI, Soedeson di Sidang MK menyampaikan bahwa mekanisme trilateral meeting antara MA/MK dengan Kemenkeu dan Bappenas bukanlah bentuk intervensi, melainkan bagian dari arsitektur keuangan negara yang bertujuan menjaga konsistensi fiskal nasional.
Hal ini disampaikan dalam sidang MK pengujian materiil sejumlah ketentuan Undang-Undang terkait penganggaran lembaga yudikatif. Sebagaimana diketahui, perkara tersebut diajukan oleh tiga Pemohon, yakni advokat Viktor Santoso Tandiasa, advokat Nurhidayat, dan wartawan Irfan Kamil. Mereka menguji Pasal 81A ayat (1) UU Mahkamah Agung, Pasal 9 UU Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara, yang menurut mereka menimbulkan intervensi eksekutif terhadap anggaran peradilan.
“Pengelolaan anggaran lembaga yudikatif melalui trilateral meeting dengan Kemenkeu dan Bappenas tidak menyalahi independensi peradilan, melainkan untuk memastikan anggaran yang terpusat, terpadu, dan akuntabel; Kemandirian kekuasaan kehakiman dijamin dalam fungsi mengadili, bukan otomatis dalam pengelolaan anggaran,” ujar Soedeson dalam sidang yang digelar via zoom dari Ruang Puspanlak, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Menurutnya, kemandirian kekuasaan kehakiman dijamin dalam fungsi mengadili, tetapi tidak otomatis berarti kemandirian penuh dalam pengelolaan anggaran. Lebih lanjut, Soedeson menjelaskan bahwa dalam sistem keuangan negara, Menteri Keuangan bertindak sebagai Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara menteri atau pimpinan lembaga lainnya berperan sebagai Chief Operational Officer (COO).
“Pembedaan kewenangan ini penting untuk mencegah rangkap peran. Jika setiap lembaga mengusulkan, menggunakan, sekaligus mengesahkan anggarannya sendiri, maka keberlanjutan APBN akan terancam,” tegasnya.
Legislator Fraksi Partai Golkar tersebut menambahkan bahwa seluruh Kementerian dan lembaga negara, termasuk MA dan MK, wajib mengikuti siklus APBN yang dikoordinasikan oleh Kemenkeu demi menjaga integrasi dan disiplin fiskal. Soedeson menegaskan bahwa pelaksanaan anggaran lembaga yudikatif tetap harus melalui mekanisme akuntabilitas publik.
“Independensi kekuasaan kehakiman bukan berarti otonomi absolut atas keuangan negara. Penganggaran yang diajukan melalui mekanisme penelaahan pemerintah merupakan bagian dari checks and balances agar tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan anggaran tanpa kontrol,” jelasnya.
Dalam prosesnya, MA dan MK tetap dapat memperjuangkan kebutuhan anggaran melalui Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR, serta melalui trilateral meeting dengan Kemenkeu dan Bappenas, tanpa mengurangi independensi peradilan pada sisi fungsi mengadili.
Menurut Soedeson, prinsip-prinsip internasional juga mendukung pandangan bahwa kemandirian peradilan tidak identik dengan kemandirian anggaran. Ia merujuk pada Putusan MK Nomor 28/PUU-IX/2011, serta Prinsip-Prinsip Bangalore tentang Perilaku Hakim (UNODC) yang telah menjadi inti dari Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
“Kemandirian hakim tidak otomatis berarti lembaga peradilan memiliki kemandirian anggaran yang memutus koordinasi dengan Pemerintah dan DPR. Koordinasi anggaran tetap perlu dilakukan untuk menjaga akuntabilitas negara,” tegas Soedeson. •pun/aha