E-Media DPR RI

Komisi VII Dorong Pemanfaatan Teknologi untuk Tingkatkan Produksi Garam Industri Nasional

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga saat memimpin Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI ke PT Asahimas Chemical (ASC) di Cilegon, Banten, Jumat (21/11/2025). Foto: Novel.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga saat memimpin Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI ke PT Asahimas Chemical (ASC) di Cilegon, Banten, Jumat (21/11/2025). Foto: Novel.


PARLEMENTARIA, Cilegon 
– Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga menilai Indonesia seharusnya dapat mandiri dalam produksi garam industri, mengingat luasnya garis pantai nasional dan potensi sumber daya alam yang besar. Namun demikian, ia menyoroti masih minimnya keterlibatan korporasi dalam industri tersebut serta ketergantungan tinggi pada impor.

Menurut Lamhot, Indonesia merupakan salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, sehingga secara alamiah memiliki kapasitas besar untuk menghasilkan garam industri. Namun realitanya, banyak korporasi nasional enggan menekuni produksi garam industri karena dinilai kurang menguntungkan secara ekonomi.

“Seharusnya enggak masalah untuk memproduksi garam industri. Tetapi persoalannya, beberapa korporasi kita banyak yang tidak mau masuk karena secara keekonomian profitable-nya tidak terlalu menjanjikan,” ujar Lamhot kepada Parlementaria usai memimpin Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI ke PT Asahimas Chemical (ASC) di Cilegon, Banten, Jumat (21/11/2025).

Akibat kondisi tersebut, industri petrokimia termasuk produsen kaustik soda masih mengandalkan pasokan garam dari luar negeri. Lamhot menjelaskan bahwa negara seperti Australia dan Amerika memiliki keunggulan karena garam industri mereka berasal dari garam tambang, yang merupakan by-product atau limbah dari proses lain, sehingga bisa langsung diekspor tanpa proses produksi tambahan.

“Di kita, kalau ingin menghasilkan garam industri, kita harus produksi dulu dari air laut. Sementara di Australia, garam tambangnya sudah ada sehingga mereka tinggal ekspor. Itu bedanya,” jelasnya.

Meski demikian, Lamhot menegaskan bahwa Indonesia tetap memiliki kemampuan untuk memproduksi garam industri secara mandiri, terutama dengan dukungan teknologi modern. Tantangan terbesar, kata dia, terletak pada faktor cuaca yang tidak selalu dapat dikendalikan, sementara produksi garam industri membutuhkan kondisi yang stabil.

“Kita memang mengalami tantangan cuaca. Tetapi dengan teknologi sekarang seharusnya bisa, karena semua teknologi itu bisa melakukan rekayasa produksi,” tegas legislator Fraksi Partai Golkar itu.

Lamhot menyampaikan bahwa berbagai persoalan dan temuan di lapangan akan dibahas lebih lanjut oleh Komisi VII untuk mencari solusi. Ia menekankan bahwa hambatan terkait bahan baku seperti garam industri tidak boleh mengganggu iklim investasi dan pertumbuhan industri petrokimia nasional.

“Temuan-temuan ini akan kita tindak lanjuti. Ini tidak boleh mengganggu iklim investasi kita. Ini harus kita dorong,” tutupnya. •vel/rdn