Anggota Komisi XII DPR RI, Rokhmat Ardiyan, saat mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi XII DPR RI ke Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (21/11/2025). Foto: Eki/vel.
PARLEMENTARIA, Palembang – Komisi XII DPR RI menegaskan perlunya percepatan pengembangan geothermal sebagai sumber energi hijau yang paling potensial dan paling strategis bagi Indonesia. Hal ini disampaikan Anggota Komisi XII DPR RI, Rokhmat Ardiyan, dalam Kunjungan Kerja Spesifik Komisi XII DPR RI ke Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (21/11/2025).
Rokhmat menuturkan, Indonesia diketahui memiliki sekitar 40–50 persen cadangan geotermal dunia, yang menjadikannya salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Apabila dikelola secara optimal, kapasitas energi geotermal nasional diperkirakan mampu mencapai 23.000–24.000 megawatt, jumlah yang setara dengan kebutuhan listrik Pulau Jawa saat ini.
“Cadangan geothermal Indonesia mencapai hampir separuh cadangan dunia. Jika dimanfaatkan maksimal, kapasitasnya mampu menutup kebutuhan listrik Pulau Jawa, sekitar 23.000–24.000 megawatt,” jelas Rokhmat dalam pertemuan.
Rokhmat menjelaskan bahwa geothermal adalah energi yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan minim polusi. Selain menghasilkan listrik, pemanfaatan panas bumi juga dapat menciptakan ekosistem ekonomi baru bagi daerah melalui sektor pertanian, pariwisata, hingga usaha mikro.
“Geotermal itu energi hijau. Sangat ramah lingkungan dan dapat membangun ekosistem baru. Contohnya di Lahendong, Manado, dan Tomohon, pemanfaatan panas bumi mampu mendorong pariwisata dan memberikan pendapatan bagi daerah,” ujar Rokhmat.
Menurutnya, jika dikelola dengan pendekatan yang tepat, geotermal dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui dana bagi hasil (DBH), peningkatan lapangan pekerjaan, dan pemanfaatan panas bumi untuk fasilitas wisata seperti onsen atau pemandian air panas.
Meski memiliki potensi besar, pengembangan geotermal di Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala, di antaranya lokasi sumber panas bumi berada di kawasan hutan lindung, resistensi atau kekhawatiran masyarakat adat, kurangnya edukasi publik bahwa geotermal aman dan ramah lingkungan, serta proses perizinan dan komersialisasi yang masih panjang.
“Ada kendala perizinan kehutanan, dan masih banyak masyarakat adat yang belum sepenuhnya percaya pada pengembangan geotermal. Mereka butuh edukasi bahwa geotermal itu aman dan punya banyak manfaat,” ungkap Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.
Rokhmat menambahkan bahwa pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi, memberikan kepastian regulasi, serta menciptakan skema investasi yang menarik bagi pengembang.
Selain edukasi masyarakat, Rokhmat menilai perlu adanya insentif finansial dan regulasi agar tarif geotermal lebih menarik bagi investor. Pengembangan panas bumi memerlukan investasi besar dan jangka panjang, sehingga kepastian tarif dan mekanisme bagi hasil menjadi kunci.
“Perlu insentif agar tarifnya menarik untuk investor. Jika tarifnya kompetitif, investasi geothermal akan tumbuh dan daerah akan mendapat dana bagi hasil,” demikian Rokhmat. •eki/rdn