Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Siti Aisyah, saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Baleg Dengan LPSK Tentang Harmonisasi RUU Pelindungan Saksi dan Korban, di Gedung Nusantara I, Selasa (18/11/2025). Foto: Eno/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Siti Aisyah, menyoroti minimnya kesiapan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam merespons kebutuhan perlindungan di tengah perubahan regulasi nasional. Ia menilai LPSK justru tertinggal dalam menyusun masukan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelindungan Saksi dan Korban (PSDK) yang tengah dibahas di DPR.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Baleg Dengan LPSK Tentang Harmonisasi RUU Pelindungan Saksi dan Korban, Siti Aisyah menyampaikan bahwa LPSK merupakan lembaga yang sangat diharapkan publik dalam memberikan perlindungan kepada saksi maupun korban. Namun, menurutnya, lembaga tersebut sering kali kurang aktif merespons dinamika kasus di masyarakat, bahkan dalam situasi yang seharusnya mereka bisa turun langsung tanpa menunggu pengaduan.
“Maaf, tetapi saya merasa LPSK ini malah kurang aktif. Apapun yang terjadi di masyarakat, mereka kurang responsif. Padahal LPSK itu tanpa diminta pun harus turun,” tegasnya dalam dalam Rapat yang diselenggarakan di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Legislator dari Fraksi PDIP ini menilai, ketidaksinkronan ini terlihat jelas dalam makalah yang disampaikan LPSK kepada Baleg. Menurutnya, dokumen tersebut masih merujuk pada ketentuan lama yakni UU Nomor 1 Tahun 2023 dan belum menyesuaikan dengan KUHP baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Ia menegaskan bahwa dalam KUHP baru, perlindungan saksi dan korban tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu.
“Bagaimana LPSK mau melindungi kalau Undang-Undangnya saja tidak dipahami? KUHP baru mengatur perlindungan untuk seluruh tindak pidana, tetapi makalah yang diberikan masih berdasarkan Undang-Undang lama dan tindak pidana tertentu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Siti Aisyah menjelaskan bahwa DPR sebelumnya juga telah memanggil para ahli, termasuk Wamenkumham, yang menegaskan bahwa perlindungan dalam KUHP baru mencakup seluruh tindak pidana serta seluruh proses peradilan. Namun, masukan LPSK dinilai belum mengakomodasikan hal tersebut.
Ia menambahkan bahwa RUU anyar yang tengah disusun ini justru bertujuan memperbarui kewenangan LPSK agar tidak tertinggal, termasuk memperluas perlindungan terhadap saksi, korban, keluarga korban, serta informan.
“RUU ini dibuat untuk memperkuat LPSK. Tetapi justru LPSK yang tidak mengikuti perkembangan. Seharusnya mereka menyampaikan kebutuhan dan memperjuangkan kepentingan publik,” kata Siti.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa perlindungan tidak hanya relevan dalam hukum pidana, tetapi juga dalam perkara perdata. Ia mencontohkan situasi ketika pihak yang lemah berhadapan dengan pihak yang lebih berkuasa sehingga tetap membutuhkan perlindungan dari intimidasi. “Dalam perdata pun bisa ada korban. Saat berhadapan dengan pihak yang lebih powerful, intimidasi bisa terjadi. Ini harusnya menjadi perhatian LPSK,” ujarnya.
Tak pelak, legislator dari Dapil Riau II ini pun mengajak LPSK untuk lebih proaktif dan memperhatikan aspirasi masyarakat, terutama karena RUU PSDK disusun untuk memperkuat peran lembaga tersebut hingga ke tingkat kabupaten. “Kami di DPR sudah berjuang agar perlindungan ini berlaku luas dan diperkuat. Tinggal bagaimana LPSK benar-benar memanfaatkan RUU ini untuk bekerja lebih maksimal,” pungkasnya. •ujm/aha