Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan saat mengikuti RDP Komisi III bersama Wakapolri, Plt. Wakil Jaksa Agung, dan Plt. Kepala Badan Pengawas MA di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Foto: Dep/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta — “Justice delayed is justice denied.” Kalimat itu disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan saat mengkritik lambatnya penyelesaian perkara di Mahkamah Agung (MA) yang bahkan mencapai 720 hari, jauh melampaui batas waktu normal 250 hari. Sorotan itu ia sampaikan dalam RDP Komisi III bersama Wakapolri, Plt. Wakil Jaksa Agung, dan Plt. Kepala Badan Pengawas MA di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Hinca menilai keterlambatan ekstrem tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak warga negara atas kepastian hukum. Ia bahkan menyebut bahwa perkara yang macet—termasuk PK yang seharusnya diputus cepat—berpotensi menjadi bentuk “kejahatan sempurna” jika tidak diawasi ketat.
“Ini bukan sekadar telat memutus. Ini sudah merampas hak orang untuk memperoleh keadilan. Ada perkara yang tidak pernah sampai ke meja hakim. Ini persoalan serius,” tegasnya.
Ia menjelaskan terdapat temuan bahwa sejumlah perkara hanya “berputar” di tingkat administrasi tanpa ada kejelasan posisi berkas. Menurutnya, publik harus mengetahui apakah berkas terhenti di PN, PT, atau MA. Ketertutupan informasi dianggap memperbesar risiko manipulasi perkara.
“Kalau perkara berhenti, kita harus tahu berhentinya di mana. Kalau tidak, siapa pun bisa menyembunyikan berkas,” ujar Legislator Fraksi Partai Demokrat itu.
Tak hanya persoalan MA, Hinca juga menyoroti Kejaksaan yang dinilai lamban mengeksekusi putusan inkrah karena perpindahan jaksa atau kelalaian administrasi. Kondisi itu menyebabkan terpidana baru mulai menjalani masa pidananya terlambat. “Kalau jaksa pindah lalu eksekusi terlambat, bagaimana nasib terpidana? ‘Kilometer nol’ pidananya tidak berjalan. Ini pelanggaran serius,” kata Hinca.
Dalam rapat tersebut, ia juga mempertanyakan perkembangan kasus besar seperti buronan Reza Halim serta dugaan jual-beli perkara Rikat Jarot, yang dinilai hilang dari radar publik. Hinca menegaskan bahwa reformasi hukum tidak cukup hanya dengan revisi KUHAP, tetapi harus dibarengi dengan pembenahan institusional di MA, Kejaksaan, dan Polri. “Tidak boleh ada perkara hilang atau disembunyikan. Keadilan harus dipastikan berjalan,” pungkasnya. •fa/aha