Wakil Ketua Baleg DPR RI Martin Manurung saat mengikuti RDPU dengan Narasumber dalam rangka Harmonisasi RUU Perubahan UU nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Gedung Nusantara I, Selasa (18/11/2025). Foto: Karisma/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Martin Manurung menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Hak Cipta harus menghasilkan regulasi yang adil dan tidak menambah beban pelaku industri kreatif. Ia menilai keseimbangan kepentingan antara pencipta, penyanyi, promotor, label, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya menjadi kunci agar pengaturan hak cipta tidak menimbulkan persoalan baru.
Maka dari itu, Ia menilai, dalam revisi UU Hak Cipta diperlukan kebijaksanaan agar tidak terjadi “ego sektoral” antar-stakeholder. Ia meminta masukan yang komprehensif dari para pelaku industri, karena regulasi yang tepat harus mampu mengelola kepentingan seluruh pihak.
“Untuk menyeimbangkan semua kepentingan ini. Kita tentu tidak ingin juga kemudian pencipta tidak mendapatkan hak-haknya. Ini juga penyanyi juga, promotor juga, label juga,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI dengan narasumber dari Penulis Buku, Asosiasi Produser Film, Penerbit Buku, Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Langgam Kreasi Budaya, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). RDPU ini digelar dalam rangka harmonisasi RUU Perubahan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Diketahui dalam kesempatan itu, membuka pandangannya dengan menyoroti bahwa sengketa hak cipta biasanya muncul ketika suatu karya sudah menghasilkan nilai ekonomi. Menurutnya, baik penyanyi, pencipta lagu, label, maupun promotor sering baru mempermasalahkan hak ketika karya tersebut mulai menguntungkan, padahal seluruh pihak sebelumnya menanggung proses perjuangan yang sama.
Ia juga berbagi pengalamannya sebagai mantan penyanyi sejak usia tujuh tahun dan pernah mengalami langsung ketidakadilan pembagian keuntungan di industri musik. “Saya jamin Pak Once ini dulu ketika menyanyi sering free juga. Demikian juga pencipta lagu. Dan tidak salah juga label itu berjuang, karena mereka yang menaruh modal dan risiko,” tuturnya.
Martin juga menyoroti perlunya digitalisasi sistem tracking penggunaan karya cipta agar lebih transparan dan mudah diatur. Ia memberi contoh bagaimana di luar negeri setiap lagu yang diputar di restoran, karaoke, atau tempat hiburan dapat tercatat secara otomatis oleh sistem.
“Kalau memang itu yang harus kita lakukan, kita dorong saja digitalisasi. Jadi jelas, jangan saling mengklaim. Dan jangan mempersulit juga,” ujarnya.
Terkait isu kewajiban izin langsung kepada pencipta untuk setiap lagu yang dinyanyikan dalam sebuah acara, Martin mengingatkan bahwa regulasi yang terlalu kaku justru akan menyulitkan pelaksanaan di lapangan. “Bayangkan kalau setiap lagu harus izin dulu, ya repot juga. Intinya jangan membuat peraturan yang mempersulit diri sendiri,” tegasnya.
Di akhir, Martin menutup pernyataannya dengan harapan agar industri kreatif tidak terhambat karena over-regulation. Menurutnya, semangat revisi UU Hak Cipta harus memastikan perlindungan bagi pencipta tanpa mematikan kreativitas dan kegiatan usaha promotor, penyanyi, maupun label.
“Kita tidak ingin industri kreatif akhirnya tidak berkembang, mati karena over regulation. Tolong kami dikasih masukan yang terbaik seperti apa,” pungkasnya. •hal/aha