Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Martin Manurung, saat Pleno RDPU dengan Kwarnas Pramuka, Asosiasi Pengajar Pancasila Indonesia di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025). Foto: Geraldi/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Martin Manurung, menegaskan pentingnya memberikan kepastian konsep dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP), terutama terkait kekhawatiran publik mengenai potensi indoktrinasi dalam pendidikan Pancasila.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg bersama Kwarnas Pramuka, Asosiasi Guru Pendidikan Pancasila Indonesia (Agppi), Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Indonesia (Ap3knl), dan Asosiasi Dosen Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan (Adpk) dalam Rangka Penyusunan Ruu Tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Dalam pandangannya, Martin mengungkapkan bahwa ia menerima banyak masukan dari masyarakat yang mengaitkan RUU BPIP dengan ketakutan akan kembalinya praktik indoktrinasi seperti pada masa Orde Baru. Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh lembaga-lembaga keagamaan dalam rapat sebelumnya.
“Saya melihat trauma ini masih kuat. Banyak yang takut pendidikan Pancasila akan kembali menjadi alat indoktrinasi. Padahal, tidak selalu ada yang salah dengan indoktrinasi itu sendiri, ketika yang ditanamkan adalah sistem nilai yang benar,” ujar Martin saat rapat RDPU di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Legislator dari Fraksi Partai Nasdem ini menjelaskan, perbedaan utama terletak pada substansi dan mekanisme perumusan nilai. Pada masa lalu, indoktrinasi kerap dianggap sebagai alat penyeragaman yang menekankan regimentasi.
Namun, dalam RUU BPIP yang tengah dibahas, konten nilai-nilai Pancasila justru dirumuskan secara kolektif melalui musyawarah antara BPIP dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
“Isinya bukan sepihak. MPR sebagai representasi rakyat bersama DPR dan DPD di dalamnya, ikut menentukan apa yang diturunkan dari nilai-nilai Pancasila. Ada proses permusyawaratan, bukan pemaksaan,” tegasnya.
Martin juga membandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat, yang memiliki doktrin nasional kuat seperti The American Dream dan the pursuit of happiness. Menurutnya, setiap bangsa membutuhkan nilai dasar yang disepakati bersama untuk menjadi perekat identitas nasional.
“Kita bangsa yang sangat beragam, tapi kita tetap satu karena kita punya nilai bersama sebagai negara Pancasila. Nilai-nilai ini perlu diajarkan dengan tepat, tidak menakut-nakuti, tapi juga tidak dibiarkan kabur,” pungkasnya. •ujm/aha