E-Media DPR RI

Pemerintah Harus Perkuat Deteksi Dini dan Layanan Primer pada Eliminasi TBC 2030

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani dalam Panja Komisi IX DPR RI tentang Percepatan Eliminasi TBC bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, APPSI, APEKSI, dan APKASI, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto : Arifman/Andri.
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani dalam Panja Komisi IX DPR RI tentang Percepatan Eliminasi TBC bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, APPSI, APEKSI, dan APKASI, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto : Arifman/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 — Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menegaskan bahwa kunci utama untuk mempercepat eliminasi Tuberkulosis (TBC) di Indonesia adalah penguatan upaya pelacakan dan penemuan kasus secara masif, bukan sekadar menunggu kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri. Hal tersebut disampaikan Netty dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi IX DPR RI tentang Percepatan Eliminasi TBC bersama sejumlah mitra kerja, di antaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, APPSI, APEKSI, dan APKASI, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025).

“Menyambung keprihatinan teman-teman anggota, langkah kunci eliminasi TBC itu ada pada pelacakan atau penemuan kasus. Kalau hanya mengharapkan kesadaran masyarakat untuk datang ke fasilitas kesehatan, saya rasa ini tidak cukup. Banyak masyarakat yang tidak sadar dirinya terjangkit TBC, dan selama itu mereka bisa menularkan ke banyak orang di rumah,” ujar Netty.

Politisi Fraksi PKS itu menyoroti masih belum seragamnya sistem diagnosis TBC di berbagai fasilitas kesehatan, yang menurutnya dapat memperlambat proses deteksi dan penanganan pasien. “Kita belum satu peta. Ada yang pakai mantoux test, ada yang pakai TCM, ada yang tes dahak. Akibatnya pasien bolak-balik dari Puskesmas ke rumah sakit tanpa kepastian diagnosis. Dalam waktu itu, sudah berapa orang yang mungkin tertular?” imbuhnya.

Netty juga menilai strategi nasional eliminasi TBC 2030 perlu dijabarkan lebih konkret dan realistis, terutama dalam memperkuat layanan kesehatan primer. “Kalau dibilang eliminasi TBC 2030, strateginya apa? Apakah kita siap melakukan skrining massal? Kalau hanya menunggu pasien dengan gejala berat datang, kita tidak akan pernah tahu seberapa besar penularannya,” katanya.

Ia menambahkan, persoalan kesiapan fasilitas kesehatan di daerah juga perlu menjadi perhatian serius pemerintah. “Bahkan di wilayah Jawa Barat saja, seperti perbatasan Kabupaten Bandung dengan Garut, akses ke layanan kesehatan primer masih terbatas. Kalau di daerah seperti itu saja sulit, bagaimana dengan Indonesia Timur?” tutur Netty.

Dalam kesempatan yang sama, ia menekankan pentingnya perubahan paradigma penanganan TBC agar tidak lagi bersifat vertikal, tetapi terintegrasi dengan sistem pelayanan daerah. “Penanganan TBC tidak bisa hanya temukan dan obati, tapi juga harus ada langkah pencegahan bagi yang belum terinfeksi. Pendekatan ini harus melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat secara aktif,” tegasnya.

Sementara itu, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) dalam rapat tersebut menyampaikan sejumlah permasalahan krusial yang dihadapi pemerintah daerah dalam upaya percepatan eliminasi TBC. Meski sudah ada Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, implementasinya di tingkat daerah masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari lemahnya koordinasi lintas sektor hingga keterbatasan anggaran dan sumber daya.

Menurut APEKSI, belum semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memahami perannya dalam program TBC, sementara sistem pelaporan yang belum real-time dan terintegrasi menghambat upaya pemantauan kasus. Kondisi ini diperburuk dengan masih tingginya kasus putus pengobatan dan terbatasnya tenaga kesehatan terlatih.

Untuk itu, APEKSI mengajukan enam rekomendasi strategis kepada pemerintah pusat, antara lain memperkuat koordinasi lintas sektor, memperbanyak rumah sakit daerah yang melayani TBC Resisten Obat (RO), mempercepat distribusi obat, serta mendorong skema needs-based budgeting dalam alokasi DAK Non-Fisik Kesehatan berdasarkan beban kasus di daerah.

APEKSI juga mengusulkan agar pemerintah memberikan fleksibilitas penggunaan DAK untuk mendukung inovasi lokal, seperti pengadaan unit mobile X-ray dan pelacakan kontak berbasis kader. Selain itu, APEKSI mendorong adanya insentif fiskal berbasis kinerja bagi daerah yang berhasil meningkatkan deteksi dan pengobatan TBC, serta pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan yang lebih efisien dan terintegrasi.

“Langkah-langkah ini sangat penting untuk memastikan keberlanjutan program, terutama menjelang berakhirnya pendanaan Global Fund pada tahun 2025,” tulis APEKSI dalam paparannya.

Netty menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa target eliminasi TBC tahun 2030 hanya dapat tercapai jika pemerintah memiliki strategi yang komprehensif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. “Eliminasi TBC bukan hanya soal pengobatan, tapi soal perubahan sistem, perilaku, dan komitmen politik yang kuat,” pungkasnya. •ssb/aha