Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Syaiful Huda dalam diskusi Forum Legislasi di Kompleks DPR, Jakarta, Selasa (11/11/2025). Foto : Mario/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta – Setelah lebih dari satu dekade berjalan tanpa payung hukum yang jelas, DPR mulai menyiapkan regulasi komprehensif untuk sektor transportasi daring. Upaya ini ditujukan untuk mengakhiri ketimpangan antara pengemudi dan aplikator serta memastikan mobilitas digital di Indonesia berjalan lebih berkeadilan.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Syaiful Huda, menyebut keterlambatan pembentukan undang-undang transportasi online telah menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Hal ini disampaikan saat menghadiri dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk RUU Transportasi Online Masuk Prolegnas 2026: Menata Mobilitas Digital, Membangun Arah Baru Transportasi Indonesia.
“Setelah 12 tahun lahirnya Gojek dan sejumlah aplikasi lain, kita terlambat hampir 10 tahun. Bisnis sebesar ini masih hanya diatur lewat keputusan menteri, padahal dampaknya luar biasa bagi ekonomi dan sosial,” ujar Huda, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025).
Ia menyoroti ketimpangan relasi kerja yang selama ini menempatkan pengemudi dalam posisi lemah. Status mereka belum diakui secara jelas dalam sistem ketenagakerjaan, sehingga banyak hak perlindungan sosial dan ekonomi tidak dapat mereka peroleh.
“Selama ini hubungan mereka masih dianggap kemitraan, bukan ketenagakerjaan. Padahal, dalam praktiknya, banyak hak yang seharusnya dilindungi negara tidak terpenuhi,” tegasnya.
Huda juga menyoroti besarnya beban transportasi publik terhadap pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan sejumlah kajian, biaya transportasi mencapai sekitar 34 persen dari total pengeluaran masyarakat, jauh di atas standar ideal internasional yang berada di bawah 12 persen.
“Kalau biaya transportasi bisa ditekan, selisihnya bisa dipakai masyarakat untuk kebutuhan gizi. Itu dampaknya langsung terasa,” ujarnya.
Ia mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah menghadirkan sistem transportasi murah dan terintegrasi melalui berbagai moda. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu diadopsi pemerintah daerah lain dengan dukungan anggaran APBD, termasuk penyediaan bus sekolah gratis, angkutan petani ke sawah, dan transportasi pasar bagi pedagang kecil.
Lebih jauh, Huda menyebut DPR sedang menyiapkan regulasi transisi sebelum Rancangan Undang-Undang (RUU) Transportasi Online dibahas secara penuh. Langkah ini dimaksudkan untuk merespons cepat aspirasi para pengemudi daring terkait pembagian hasil antara 10–20 persen dari pendapatan bersih.
“Kalau menunggu undang-undang, prosesnya panjang. Karena itu kami sedang bahas regulasi transisi sebagai langkah cepat agar ada keadilan sementara,” katanya.
Ia juga menekankan perlunya transparansi dalam algoritma yang digunakan aplikator transportasi digital. Ketertutupan sistem algoritma selama ini dinilai menimbulkan ketidakadilan karena distribusi order tidak merata.
“Fakta di lapangan, ada driver yang terus dapat order, sementara yang lain menunggu berjam-jam tanpa penumpang. Ini harus diatur dalam undang-undang,” tegasnya.
Selain menyoroti sisi transportasi, Huda menilai regulasi baru ini akan menjadi bagian dari kerangka besar yang mengatur pekerja ekonomi digital. DPR disebut tengah menyiapkan draf awal untuk mengatur seluruh pelaku ekonomi berbasis aplikasi, termasuk UMKM digital dan sektor gig economy lainnya.
“Transportasi online ini hanya satu sub dari ekosistem ekonomi digital yang lebih luas. Kita butuh payung hukum yang komprehensif, bukan hanya tambal sulam,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik Iwan Setiawan yang turut hadir dalam forum tersebut menilai masuknya RUU Transportasi Online ke Program Legislasi Nasional 2026 sebagai langkah politik yang penting dan patut diapresiasi. Ia menyebut, setelah hampir 15 tahun aspirasi pengemudi daring bergulir tanpa kepastian, kini terlihat keseriusan pemerintah dan DPR untuk menjawab tuntutan itu secara konkret.
“Sudah terlalu lama mereka menanggung ketidakadilan, tidak ada kepastian hukum dan perlindungan sosial. Karena itu, masuknya RUU ini ke Prolegnas harus kita syukuri, dan ke depan harus benar-benar dikawal agar menghasilkan solusi yang adil bagi pengemudi maupun aplikator,” ujar Iwan.
Ia menilai, pembahasan RUU ini juga menjadi cerminan dari arah kebijakan pemerintah yang semakin berpihak kepada rakyat kecil, sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, kehadiran regulasi transportasi daring nantinya tidak hanya menjadi produk hukum, tetapi juga peta jalan menuju masa depan mobilitas digital yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Wacana pembentukan Undang-Undang Transportasi Online muncul dari kebutuhan akan regulasi khusus yang mampu menjawab kompleksitas hubungan antara pengemudi, aplikator, dan konsumen. Selama ini, sektor tersebut masih bernaung di bawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dinilai belum relevan dengan karakter industri digital.
Kini, RUU Transportasi Online resmi masuk dalam perubahan Prolegnas 2025–2026 sebagai langkah menuju sistem transportasi digital yang lebih berkeadilan dan teratur. •uc/rdn