E-Media DPR RI

Nihayatul Wafiroh: Revisi UU Ketenagakerjaan Harus Lindungi Pekerja dari PHK Terselubung

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh dalam kunjungan kerja ke Kota Padang Komisi IX DPR RI menyerap berbagai masukan dari masyarakat di Padang, Sumatera Barat, Senin(10/11/2025). Foto : Aar/Andri
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh dalam kunjungan kerja ke Kota Padang Komisi IX DPR RI menyerap berbagai masukan dari masyarakat di Padang, Sumatera Barat, Senin(10/11/2025). Foto : Aar/Andri


PARLEMENTARIA, Padang
 – Komisi IX DPR RI terus mematangkan rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan mengedepankan keseimbangan kepentingan antara pekerja dan pemberi kerja. Dalam kunjungan kerja ke Kota Padang, Sumatera Barat, Komisi IX DPR RI menyerap berbagai masukan dari masyarakat, serikat pekerja, dan pelaku usaha sebagai bahan penyusunan revisi regulasi tersebut.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menegaskan bahwa kunjungan ini penting untuk memastikan bahwa revisi UU Ketenagakerjaan dapat menjawab persoalan nyata di lapangan.

“Hari ini kami mendapatkan masukan mengenai revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Salah satu yang banyak disoroti adalah soal definisi pelanggaran berat. Selama ini, pemberi kerja bisa menentukan sendiri apa yang dimaksud pelanggaran berat. Padahal, seharusnya itu baru bisa disebut pelanggaran berat jika sudah inkrah di pengadilan,” ujar Nihayatul saat diwawancarai Parlementaria di Padang, Sumatera Barat, Senin(10/11/2025)..

Legislator Fraksi PKB itu menambahkan, timnya juga menerima banyak laporan soal praktik merumahkan pekerja secara sepihak tanpa kejelasan status hukum.

“Banyak pengusaha lebih memilih merumahkan pekerjanya daripada melakukan PHK karena konsekuensi pesangon yang berat. Ini harus diatur lebih tegas agar tidak disalahgunakan dengan alasan ‘dirumahkan’, padahal sejatinya sama dengan PHK,” tegasnya.

Legislator Dapil Jatim III itu juga menyoroti lemahnya sanksi terhadap perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam BPJS Ketenagakerjaan. “Selama ini sanksinya hanya administratif. Harus ada payung hukum yang lebih tegas agar kepesertaan BPJS menjadi kewajiban mutlak bagi seluruh pekerja,” lanjutnya.

Hasil dari kunjungan ini akan menjadi bahan penting dalam penyusunan regulasi ketenagakerjaan baru yang memisahkan diri dari Undang-Undang Cipta Kerja, sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023. Nihayatul menegaskan bahwa revisi UU ini harus bersifat komprehensif, tidak hanya berpihak pada salah satu pihak. “Kami ingin revisi ini bisa mengakomodasi seluruh kepentingan  baik pekerja maupun pemberi kerja  agar hubungan industrial bisa berjalan sehat dan adil,” pungkasnya. •aar/aha