E-Media DPR RI

Akselerasi Program MBG, DPR Minta Pemerintah Atasi Keterbatasan Ahli Gizi

Anggota Komisi IX DPR RI, Neng Eem Marhamah Zulfa dalam RDP di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto : Faiz/Andri.
Anggota Komisi IX DPR RI, Neng Eem Marhamah Zulfa dalam RDP di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto : Faiz/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Anggota Komisi IX DPR RI, Neng Eem Marhamah Zulfa, menyoroti persoalan kekurangan tenaga profesional di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menghambat pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah daerah. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kepala Badan Gizi Nasional (BGN).

Ia menekankan perlunya solusi fleksibel agar operasional SPPG tidak terhenti hanya karena keterbatasan sumber daya manusia, khususnya sarjana gizi dan akuntansi. “Sekarang ini banyak mitra SPPG yang kesulitan mencari sarjana gizi dan ahli akutansi. Tidak mungkin program berhenti hanya karena tenaga itu tidak tersedia,” ujar Neng dalam RDP di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025). 

Legislator dari Fraksi PKB tersebut mengusulkan agar pemerintah memberikan fleksibilitas dalam pemenuhan kebutuhan tenaga profesional di program SMPG. Menurutnya, lulusan dari bidang yang masih berkaitan seharusnya dapat mengisi posisi yang dibutuhkan, asalkan kualitasnya tetap dijaga melalui mekanisme sertifikasi resmi. 

Ia mencontohkan, posisi akuntansi dapat diisi oleh sarjana ekonomi, sedangkan posisi gizi bisa diisi oleh lulusan kesehatan yang relevan, dengan ketentuan harus mengikuti sertifikasi bersama Badan Standardisasi Nasional (BSN). 

“Kalau sarjana akuntansi tidak ada, bisa digantikan oleh sarjana ekonomi. Kalau sarjana gizi tidak tersedia, bisa dari bidang kesehatan yang relevan, tetapi perlu disertifikasi bersama Badan Standardisasi Nasional (BSN),” jelasnya.

Menurutnya, pendekatan ini penting untuk menjamin keberlanjutan SPPG yang berperan besar dalam memperkuat ketahanan pangan dan memperluas lapangan kerja masyarakat di berbagai daerah. 

Terakhir, juga menegaskan bahwa fleksibilitas ini tidak berarti menurunkan kualitas program, melainkan bentuk adaptasi terhadap kondisi nyata di lapangan.

“Kita harus realistis. Banyak daerah yang tidak memiliki cukup sarjana gizi, sementara kegiatan MBG terus berjalan dan masyarakat menunggu manfaatnya,” pungkasnya. •ujm/aha