Anggota Komisi IX DPR, Gamal, dalam foto bersama usai pertemuan Kunjungan kerja Komisi IX DPR RI ke Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (10/11/2025). Foto: Kiki/vel.
PARLEMENTARIA, Samarinda – Kunjungan kerja Komisi IX DPR RI ke Kota Samarinda, Kalimantan Timur, menjadi wadah dialog terbuka antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha untuk merumuskan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lebih adil dan berpihak pada kepentingan bersama.
Anggota Komisi IX DPR, Gamal, menekankan pentingnya memperbaiki sejumlah ketentuan dalam undang-undang ketenagakerjaan agar lebih melindungi pekerja tanpa mengabaikan keberlanjutan usaha. Ia menyoroti beberapa isu utama seperti pesangon PHK, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sistem outsourcing, jam lembur, dan formula penetapan upah minimum.
“RUU Ketenagakerjaan ke depan harus punya formula pesangon yang lebih baik dan pembatasan jelas terhadap jenis pekerjaan PKWT dan outsourcing. Kita perlu koreksi agar perlindungan pekerja tetap kuat tanpa mengekang ruang usaha,” ujar Gamal kepada Parlementaria, Senin (10/11/2025).
Gamal juga menegaskan pentingnya membangun komunikasi yang saling menghargai antara legislatif dan serikat pekerja. Menurutnya, perjuangan perlindungan tenaga kerja harus dilakukan bersama tanpa saling merendahkan.
“Kami juga berjuang bersama buruh, baik di pusat maupun di daerah. Semua pihak harus saling menghargai dalam memperjuangkan kepentingan pekerja,” tambah Politisi Fraksi PKS ini.
Dalam kesempatan yang sama anggota Komisi IX DPR, Ahmad Safei, menyoroti perlunya keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha dalam penyusunan RUU ini.
“Kami memahami hak-hak pekerja perlu dijamin, tapi juga tidak bisa mengabaikan keberlangsungan usaha. Regulasi harus memastikan kedua pihak memperoleh hak dan kewajibannya secara seimbang,” jelas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Ia juga menegaskan pentingnya peran negara dan pengawasan ketenagakerjaan, termasuk dalam memastikan pelaksanaan program BPJS Ketenagakerjaan dan perlindungan jaminan sosial bagi pekerja.
Dari pihak pekerja, Serikat Buruh Borneo Kalimantan Timur, Neneng Herawati, menilai revisi terhadap undang-undang sebelumnya justru banyak mengurangi hak-hak pekerja. Ia menyoroti lemahnya pengawasan, lambannya penyelesaian kasus upah lembur, serta praktik outsourcing yang tidak sesuai aturan.
“Undang-undang lama sebenarnya sudah cukup baik (UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Tapi setelah direvisi, banyak hak pekerja berkurang, dari pesangon hingga sistem kontrak. Pengawasan juga masih lemah, padahal buruh di lapangan yang paling terdampak,” ujar Neneng.
Neneng juga menekankan agar outsourcing hanya diterapkan pada pekerjaan yang bersifat sementara, bukan pada sektor inti seperti tambang dan perkebunan, yang banyak mempekerjakan pekerja kontrak jangka pendek.
Sebagai kesimpulan, Wakil Ketua Komisi IX DPR, Yahya Zaini, menyampaikan dialog di Samarinda tersebut mencerminkan semangat mencari titik tengah antara perlindungan pekerja dan kepastian usaha. Komisi IX DPR menegaskan bahwa aspirasi dari serikat buruh dan pengusaha di daerah akan menjadi bahan penting dalam penyusunan RUU Ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan realistis.
Dengan mendengar langsung keluhan dan kebutuhan dari lapangan, DPR berharap regulasi baru nanti tidak hanya berpihak pada satu pihak, tetapi menjadi instrumen keadilan sosial bagi seluruh rakyat pekerja Indonesia.
“Masukan-masukan yang disampaikan tadi ini akan menjadi masukan yang komprehensif dan nantinya akan menjadi bahan masukan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketenagakerjaan dalam Rapat Panja di Komisi IX DPR RI,” tutup Yahya. •qq/rdn