E-Media DPR RI

Darori Nilai Pelaksanaan Perhutanan Sosial di Jawa Menyimpang, Dorong Pelibatan Perhutani

Komisi IV DPR RI saat menggelar Rapat Audiensi dengan Forum Penyelamatan Hutan Jawa di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025). Foto: Oji/vel.
Komisi IV DPR RI saat menggelar Rapat Audiensi dengan Forum Penyelamatan Hutan Jawa di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025). Foto: Oji/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 — Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro menilai pelaksanaan program perhutanan sosial (PS) di Jawa telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan berpotensi merugikan masyarakat serta badan usaha milik negara (BUMN) Perhutani. Menurutnya, penyimpangan itu terjadi karena pemerintah menetapkan lahan milik BUMN sebagai lokasi program PS, padahal aturan melarang hal tersebut.

“Dalam peraturan pemerintah (sudah jelas disebutkan) bahwa tanah-tanah yang dikuasai oleh BUMN tidak boleh dicabut untuk (kepentingan lain). Betul, ya? Nyatanya, Perhutani tidak punya hak untuk perhutanan sosial. Itu salah kaprah,” ujar Darori dalam Rapat Audiensi Komisi IV DPR RI dengan Forum Penyelamatan Hutan Jawa di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025). 

Darori mengatakan, pelaksanaan PS selama ini justru menimbulkan persoalan baru karena banyak lahan yang dikelola masyarakat dialihkan kepada kelompok baru atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) penerima program. “Saya setuju PS dilanjutkan, tapi caranya bukan seperti ini. Dulu yang menerima justru LSM dan malah diperjualbelikan. Saya punya bukti kuitansinya,” ujarnya.

Menurutnya, konsep PS yang ideal harus tetap melibatkan Perhutani sebagai pihak pengelola utama agar hutan tetap berfungsi dengan baik. “Namanya perhutanan sosial, kalau mau menghasilkan ya harus menanam hutan. Nyatanya (sekarang), hutannya ditebang untuk modal,” tutur Politisi Fraksi Partai Gerindra tersebut.

Darori juga mengusulkan pola pembagian hasil yang lebih adil, yakni 70 persen untuk petani, 10 persen untuk kas desa, dan 20 persen untuk Perhutani. “Konsep ini saya kira cukup mewadahi, bukan seperti sekarang, rakyatnya malah diusir dan diganti orang baru” tuturnya.

Lebih jauh, Darori mengingatkan bahwa kondisi hutan di Pulau Jawa kini kian memprihatinkan. Tutupan hutan yang semula diatur minimal 30 persen dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 kini disebutnya tinggal di bawah 15 persen. Oleh karena itu, ia meminta DPR melalui Panitia Khusus (Pansus) Agraria agar segera merumuskan rekomendasi agar pemerintah memperbaiki tata kelola hutan di Jawa.

“Kemarin saya sempat kecewa (bahwa) Perhutani ini menyetujui agar PS dicabut dan diberikan kepada swasta atau perusahaan. Itu nggak bener. Perhutani tidak akan seperti itu. Bela rakyat kita,” tegasnya.

Darori juga mengingatkan pentingnya peraturan hubungan hulu dan hilir antara wilayah konservasi di Jawa Barat dan kawasan hilir di DKI Jakarta untuk mencegah banjir. “Saat itu tahun 2004 kita usulkan kepada gubernur agar memberikan dana untuk konservasi Jawa Barat yang dampaknya bisa ke DKI. Tapi gubernurnya (saat itu) nggak mau karena katanya cuma (menjabat) 5 tahun.” imbuhnya.

Darori menutup dengan penegasan bahwa prinsip utama pengelolaan hutan adalah menyejahterakan masyarakat tanpa merusak alam. “Prinsipnya adalah bagaimana masyarakat kita makmur hutannya dan juga lestari. Bukan kayak sekarang. Hutannya rusak, rakyatnya miskin. Jadi kita harus punya pemikiran bersama untuk ke depan,” pungkasnya. •ecd,gal/aha