Wakil Ketua BKSAP DPR Ravindra Airlangga saat kunjungan strategisnya ke Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Depok, Jawa Barat, Rabu (5/11/2025). Foto: Andri/vel.
PARLEMENTARIA, Depok – Dunia sedang melaju cepat ke era baru akal imitasi (Artificial Intelligence/AI). Namun, di balik gemerlap inovasinya, tersimpan persoalan yang jauh lebih dalam, yaitu siapa yang sesungguhnya memegang kendali atas algoritma yang kian menentukan arah kehidupan manusia.
Persoalan AI ini menjadi fokus pembahasan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI dalam kunjungan strategisnya ke Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Depok, Jawa Barat, Rabu (5/11/2025). Langkah tersebut bukan sekadar kegiatan akademik, melainkan bentuk keseriusan parlemen menelaah dampak geopolitik, ekonomi, dan etika global dari perkembangan AI.
Wakil Ketua BKSAP DPR Ravindra Airlangga menegaskan bahwa AI bukan hanya urusan algoritma dan kecerdasan mesin, tetapi berdiri di atas infrastruktur fisik global yang kompleks — mulai dari energi, pusat data, semikonduktor, hingga mineral langka (rare earth) yang sebagian besar dikuasai negara-negara besar. Menurutnya, dominasi infrastruktur ini berpotensi menempatkan negara berkembang seperti Indonesia hanya sebagai konsumen teknologi, bukan pemain utama.
“AI tidak bisa berdiri sendiri. Ia butuh energi besar, data center, semikonduktor, dan rare earth. Artinya, ada rantai pasok fisik yang hanya dikuasai beberapa negara. Indonesia harus bisa masuk dalam supply chain ini,” tegas Ravindra kepada Parlementaria, usai pertemuan di Kampus UIII, Depok, Jawa Barat.
Selain soal ketimpangan ekonomi, Ravindra menyoroti bahaya bias algoritmik yang lahir dari data yang tidak netral. Ia mencontohkan kasus AI dalam proses rekrutmen di luar negeri yang menolak pelamar perempuan karena dianggap berisiko mengambil cuti melahirkan. “Ini bukan sekadar salah algoritma, tapi cermin bagaimana nilai manusia bisa terdistorsi oleh logika mesin,” ujarnya.
Karena itu, BKSAP menilai, tanpa audit etis dan regulasi nasional yang ketat, AI justru berpotensi memperdalam kesenjangan sosial dan membuka peluang pelanggaran HAM dalam bentuk baru.
Dalam laporan resminya, BKSAP mengakui bahwa AI memiliki potensi besar untuk mendorong efisiensi birokrasi dan pertumbuhan ekonomi digital nasional. Namun, potensi itu datang dengan risiko besar, yaitu terjadinya kebocoran data pribadi, penyalahgunaan deepfake, hingga penggunaan senjata otonom tanpa kendali manusia.
“Teknologi baru seperti AI bisa memperkuat kesejahteraan, tapi juga mengancam hak asasi manusia jika tidak diatur dengan bijak,” tulis laporan tersebut. Kesenjangan sumber daya manusia, infrastruktur, dan investasi antara negara maju dan berkembang semakin memperlebar jarak. Jika tidak diantisipasi, Indonesia akan terjebak sebagai “pengguna abadi” dalam tatanan digital global.
Untuk menjawab tantangan tersebut, DPR RI berencana membentuk Panitia Kerja (Panja) AI yang melibatkan berbagai komisi terkait. Panja ini akan menjadi wadah koordinasi lintas sektor dalam merumuskan arah kebijakan nasional di bidang kecerdasan buatan.
Upaya ini diharapkan dapat memperkuat kerangka hukum yang sudah ada, seperti UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi, dan RUU Keamanan Siber. Selain itu, BKSAP mendorong diplomasi teknologi di forum internasional seperti Inter-Parliamentary Union (IPU) dan Committee of the Future PBB, guna memastikan posisi Indonesia tidak hanya sebagai pengikut, tetapi juga penentu arah global.
“DPR RI tidak hanya berperan sebagai pembuat undang-undang, tetapi juga penjaga masa depan. Kita harus memastikan kemajuan AI tidak hanya dikuasai oleh negara besar, tetapi memberi manfaat bagi semua,” tegas Ravindra.
Kunjungan BKSAP ke UIII menjadi momentum penting dalam memperkuat sinergi antara parlemen dan dunia akademik dalam membangun kedaulatan digital Indonesia. Diskusi yang berlangsung memperlihatkan kesadaran baru bahwa AI bukan semata urusan teknologi, tetapi juga persoalan politik kekuasaan, nilai kemanusiaan, dan kemandirian bangsa. Indonesia kini dihadapkan pada pilihan besar: tetap menjadi penonton di panggung revolusi AI, atau bangkit menjadi pemain yang berdaulat. Sebab di balik kecerdasan buatan, tengah berlangsung perebutan kendali atas masa depan — antara mereka yang menciptakan algoritma dan mereka yang harus hidup di bawah pengaruhnya. •man/rdn