E-Media DPR RI

Perspektif Korban sebagai Paradigma Utama, Revisi UU PSdK Tak Lagi Fokus Hukum Pelaku

Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya. Foto : DOk/Andri.
Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya. Foto : DOk/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menyebut revisi Undang-Undang tentang Perubahan kedua atas UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSdK) membawa pergeseran paradigma dalam sistem hukum Indonesia. Menurutnya, pembahasan dalam Panitia Kerja (Panja) kali ini menekankan pentingnya menempatkan korban sebagai subjek utama dalam proses peradilan.

“Di dalam proses peradilan kita selama ini titik beratnya itu menghukum si pelaku seberat-beratnya, tapi si korban luput untuk dipenuhi hak-haknya. Maka kemudian terjadi pergeseran paradigma, dari hal yang bersifat pelaku menjadi tidak hanya pelaku, tapi juga si korban,” ujar Willy kepada Parlementaria usai mengikuti Rapat Panja di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Willy menjelaskan, revisi tersebut memperluas cakupan perlindungan saksi dan korban, tidak hanya pada tindak pidana khusus seperti kekerasan seksual, terorisme, atau pencucian uang, tetapi juga pada perkara pidana dan perdata lainnya yang melibatkan ancaman dan intimidasi terhadap korban.

Willy Aditya menekankan pentingnya partisipasi publik yang tumbuh dari semangat voluntarisme. Ia menjelaskan bahwa penguatan peran sahabat saksi korban merupakan wujud nyata dari ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam upaya tersebut.

“Partisipasi dari masyarakat (bisa dalam bentuk) donasi juga, istilahnya kan victim trust fund atau dana abadi korban. Itu bagaimana kekuatannya untuk meng-cover beberapa hal yang menjadi kebutuhan (korban),” imbuhnya.

Lebih jauh, revisi turut memperkuat peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar tidak hanya beroperasi di tingkat pusat, tetapi juga memiliki jangkauan hingga wilayah kabupaten dan kota.

Politisi Fraksi NasDem tersebut mengungkapkan bahwa keterlibatan LPSK dalam sistem peradilan merupakan sebuah keniscayaan. Artinya, LPSK bukan lagi berdiri sebagai lembaga pendamping semata, melainkan menjadi bagian integral dalam memastikan proses hukum yang berkeadilan bagi korban dan saksi.

“Jadi sistem peradilan kita berkembang kalau selama ini hanya one side, (sekarang) lebih cover both siderestorative justice. Yang selama ini retributive justice ini jadi restorative justice. Itu yang kemudian menjadi pergeseran paradigma dan kita mendorong LPSK bagian dari sistem peradilan itu.” pungkasnya. •ecd, gal/rdn