Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wahfiroh, saat memimpin pertemuan rapat dengan Gubernur Maluku, BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan dan stakeholder di Kantor Gubernur Maluku, Kota Ambon, Maluku, Jumat (31/10/2025). Foto: Safitri/vel.
PARLEMENTARIA, Ambon — Pagi itu, langit Kota Ambon tampak cerah meski angin laut terasa menusuk lembut di tepi pelabuhan. Dari kejauhan, suara mesin perahu nelayan bersahut-sahutan dengan riuhnya aktivitas di pinggiran kota. Di tengah hiruk-pikuk itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wahfiroh, melangkah mantap menuju Rumah Sakit Dr. M. Haulussy, salah satu rumah sakit tertua di Maluku yang menjadi saksi sejarah panjang pelayanan kesehatan di wilayah kepulauan ini.
Kunjungan Nihayatul — atau akrab disapa Ninik — bukan sekadar agenda rutin reses parlemen. Ia datang untuk menyentuh denyut nyata persoalan kesehatan di Maluku, provinsi yang dikenal indah namun masih bergulat dengan tantangan geografis dan keterbatasan sumber daya.
“Yang pertama tentu soal anggaran. Dan yang kedua, geografis Maluku yang berpulau-pulau membuat pemerataan layanan menjadi sangat sulit,” ujarnya kepada Parlementaria, di Ambon, Sabtu (1/11/2025).
Menurut Ninik, perjalanan antar pulau di Maluku seringkali tak semudah membalik peta. “Bahkan di Pulau Buru yang masih satu pulau pun, karena tak ada jalan tembus, warga harus naik speedboat hanya untuk mencapai ujung lainnya,” tuturnya. Cerita itu menggambarkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi tenaga kesehatan dan pasien di provinsi kepulauan tersebut.
Di Rumah Sakit Dr. M. Haulussy, Ninik menemukan realitas yang memprihatinkan. Bangunan rumah sakit yang berdiri sejak tahun 1940 kini tampak renta dimakan waktu. Cat dinding memudar, atap bocor di beberapa bagian, dan ruang rawat yang sempit terasa jauh dari kesan rumah sakit tipe B yang seharusnya memiliki fasilitas lengkap. “Nilai kapitasinya hanya sekitar Rp1,5 miliar per bulan. Padahal, untuk tipe B biasanya bisa mencapai 5 sampai 7 miliar,” ungkapnya.
Rendahnya nilai kapitasi, lanjutnya, disebabkan salah satunya oleh minimnya minat masyarakat untuk berobat di fasilitas yang infrastrukturnya sudah tua dan kurang representatif. Namun, yang lebih disayangkan, pemerintah pusat saat ini tak lagi menyediakan anggaran khusus untuk peremajaan rumah sakit. “Kita tidak ada anggaran untuk permajaan rumah sakit, kecuali untuk pembangunan baru dari tipe D ke tipe C,” jelasnya dengan nada prihatin.
Karena itu, Ninik mendorong kolaborasi berbagai pihak — pemerintah daerah, Kementerian Kesehatan, dan BPJS Kesehatan — untuk memastikan rumah sakit ini mendapat pendampingan intensif. Ia juga menekankan pentingnya peran gubernur dalam menetapkan wilayah tertentu sebagai daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) agar bisa mendapatkan insentif dan kapitasi BPJS yang lebih besar. “Kalau daerah sudah ditetapkan sebagai 3T, kapitasinya akan berbeda, dan ini bisa sangat membantu operasional rumah sakit,” ujarnya.
Tak hanya persoalan fasilitas dan anggaran, Ninik menyoroti aspek sumber daya manusia. Ia menilai, tenaga kesehatan lokal adalah kunci untuk memperkuat layanan di wilayah kepulauan. “Kesulitannya kalau bukan putra daerah, mereka biasanya enggan bertugas lama di kepulauan. Biaya dan insentifnya besar, tapi tak menjamin mereka betah. Maka kita perlu dorong putra-putri daerah mengambil pendidikan spesialisasi agar bisa mengabdi di tanah sendiri,” katanya dengan nada optimistis.
Bagi Ninik, membenahi layanan kesehatan di Maluku bukan sekadar membangun gedung baru, tapi menghidupkan kembali semangat pemerataan yang selama ini terhambat oleh jarak, laut, dan keterbatasan. Sambil menutup kunjungannya, ia menatap laut Ambon yang tenang — seolah mengingatkan, bahwa di balik keindahan kepulauan ini masih ada ribuan warga yang menunggu hadirnya keadilan dalam layanan kesehatan. •srw/rdn