
Anggota Komisi XIII DPR RI, Marinus Gea, dalam kegiatan sosialisasi LPSK yang digelar di Tangerang, Selasa (14/10/2025). Foto: Ist/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi XIII DPR RI, Marinus Gea, menegaskan pentingnya peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memberikan perlindungan kepada korban kejahatan. Ia menjelaskan, angka kejahatan di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data BPS, jumlah kasus kejahatan nasional melonjak dari 372 ribu kasus pada 2022 menjadi hampir 585 ribu kasus pada 2023.
“Artinya, dalam setiap 100 ribu penduduk, 214 orang menjadi korban tindak pidana. Angka ini tidak sekadar statistik. Di balik setiap angka, ada wajah manusia, ada ibu yang kehilangan anaknya, ada keluarga yang dirundung rasa takut, ada perempuan dan anak yang menanggung trauma karena kekerasan seksual,” kata Marinus Gea dalam kegiatan sosialisasi LPSK yang digelar di Tangerang, Selasa (14/10/2025).
Ia menambahkan, dari ribuan kasus tersebut, hanya sebagian kecil korban yang berani mencari perlindungan ke LPSK. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum tahu, tidak berani, atau tidak percaya bahwa negara hadir untuk melindungi mereka.
Padahal, lanjut Marinus Gea, Indonesia memiliki LPSK yang merupakan simbol kehadiran negara untuk melindungi rakyat yang lemah di hadapan hukum. Tanpa perlindungan saksi dan korban, proses peradilan pidana tidak akan pernah berjalan adil.
Menurutnya, LPSK sejatinya dapat menyelamatkan nyawa banyak orang. Namun, jika masyarakat tidak tahu cara mengaksesnya, keberadaan lembaga tersebut tidak akan terasa. “LPSK adalah bukti bahwa negara tidak boleh diam ketika rakyat diancam. Sekarang tugas kita bersama memastikan semua orang tahu itu,” tambah Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Maka dari itu, ia mendorong agar LPSK lebih dekat dengan rakyat, tidak hanya hadir di ibu kota, tetapi juga menjangkau desa-desa dan komunitas rentan.
Ia mengusulkan tiga langkah konkret agar LPSK semakin dekat dengan masyarakat. Pertama, melakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban agar lebih adaptif terhadap ancaman baru, seperti kekerasan berbasis elektronik. Kedua, memastikan dukungan anggaran dari APBN yang memadai untuk memperkuat layanan LPSK, termasuk pos layanan, hotline, serta kerja sama dengan pemerintah daerah. Terakhir, memperkuat pengawasan dan edukasi publik dengan melibatkan masyarakat secara langsung, sehingga mereka memahami hak-haknya sebagai saksi maupun korban.
“Perlindungan hukum akan menjadi kuat bila rakyat merasa LPSK adalah bagian dari mereka. Rakyat harus tahu bahwa mereka bisa bicara tanpa takut, melapor tanpa malu, dan mencari keadilan tanpa harus sendirian,” tutur Marinus Gea.
Ia kemudian mencontohkan seorang ibu rumah tangga di Jawa Tengah yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Setelah mendapat informasi dari kegiatan sosialisasi, korban berani melapor, dan LPSK memberikan perlindungan hukum, pendampingan psikologis, serta restitusi. Kini, ibu tersebut menjadi penggerak edukasi hukum di desanya.
Contoh lainnya, seorang pemuda di Jepara menjadi saksi kasus perdagangan orang. Berkat perlindungan LPSK dan kerja sama dengan kepolisian, ia dapat bersaksi dengan aman hingga jaringan kejahatan itu berhasil dibongkar. •rdn