
Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, saat bertukar cinderamata Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara, Rabu (8/10/2025). Foto: Ica/vel.
PARLEMENTARIA, Kendari – Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, menegaskan bahwa penanganan kejahatan narkotika harus dilakukan dengan langkah yang seimbang antara penegakan hukum yang tegas dan pendekatan rehabilitasi yang terukur. Hal tersebut disampaikannya dalam Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara, Rabu (8/10/2025), bersama Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati), dan Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Tenggara.
I Wayan menilai bahwa peredaran narkotika merupakan ancaman serius bagi masa depan bangsa karena berdampak luas pada kerusakan moral, sosial, dan meningkatnya kepadatan lembaga pemasyarakatan. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan penanganan yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memulihkan. “Masalah narkotika ini sudah sangat memprihatinkan. Kita butuh pendekatan hukum yang berkeadilan, di mana pengguna yang benar-benar korban diberi rehabilitasi, sementara bandar dan pengedarnya dihukum seberat-beratnya,” tegasnya.
Menurut I Wayan, pola penanganan seperti itu terbukti efektif diterapkan di sejumlah negara, salah satunya Portugal. Di sana, kata I Wayan, pengguna narkotika tidak dibiarkan lepas dari tanggung jawab hukum, tetapi diarahkan untuk menjalani rehabilitasi yang diawasi negara. “Intinya bukan membebaskan pengguna, tetapi memulihkan mereka agar tidak mengulangi dan kembali menjadi warga yang produktif. Sementara bagi bandar, hukum harus tegas tanpa kompromi,” jelas legislator dari Fraksi PDI-Perjuangan tersebut.
Ia juga menyoroti adanya dugaan penyimpangan dalam penegakan hukum terhadap kasus narkotika. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pengguna dari kalangan tidak mampu terkadang dikenai status hukum yang lebih berat karena tidak mampu membayar biaya rehabilitasi. “Kami mendapat informasi bahwa ada korban penyalahgunaan narkotika yang tidak mampu membayar, justru dijerat sebagai pengedar. Kalau benar, ini jelas penyalahgunaan kewenangan dan harus ditindak,” ujar I Wayan.
Karena itu, Komisi III mendorong Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk memperkuat pengawasan internal serta menindak aparat yang terbukti terlibat dalam praktik tersebut. “Tidak boleh ada toleransi bagi aparat penegak hukum yang bermain di bisnis narkotika. Kepolisian, kejaksaan, maupun aparat BNN harus bersih jika ingin perang melawan narkotika berhasil,” tegasnya.
Lebih lanjut, I Wayan menilai bahwa keberhasilan pemberantasan narkotika sangat bergantung pada kemauan politik (political will) dari seluruh aparat penegak hukum. “Selama tidak ada keberanian untuk menindak secara adil dan konsisten, kita hanya akan terus menghadapi penjara yang penuh, anggaran yang habis, dan generasi muda yang rusak. Karena itu, dibutuhkan langkah nyata dan keseriusan semua pihak,” ujarnya.
Ia menutup dengan ajakan agar penanganan narkotika tidak semata-mata berorientasi pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan sosial. “Kita ingin perang melawan narkotika ini benar-benar berpihak pada kepentingan bangsa. Rehabilitasi harus diperluas bagi korban yang layak, penegakan hukum harus keras terhadap jaringan pengedar, dan aparat penegak hukum harus bersih agar kepercayaan publik kembali,” pungkasnya. •ica/aha