
Ketua Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi II DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, saat pertemuan dengan pemerintah daerah dan pemangku kebijakan di Tarakan, Jumat (3/9/2025). Foto: Agung/vel
PARLEMENTARIA, Tarakan — Ketua Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi II DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, menegaskan bahwa persoalan agraria di Kalimantan Utara (Kaltara) masih menjadi isu krusial yang harus segera ditangani pemerintah. Menurutnya, kompleksitas konflik lahan, tumpang tindih klaim masyarakat dengan perusahaan, serta ketidakjelasan status kawasan hutan berpotensi mengganggu stabilitas sosial maupun pertahanan di wilayah perbatasan.
“Kami mendorong reforma agraria tidak berhenti pada penerbitan sertifikat. Yang lebih penting adalah bagaimana redistribusi tanah dan legalisasi aset benar-benar memberi dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” tegas Deddy dalam pertemuan dengan pemerintah daerah dan pemangku kebijakan di Tarakan, Jumat (3/9/2025).
Ia menambahkan, hingga saat ini belum ada pola kerja sama inti-plasma antara perusahaan perkebunan di Kaltara dengan masyarakat yang mampu memberikan kesejahteraan. Sebaliknya, konflik lahan justru kerap menjadi sumber keresahan di tengah warga. “Kalau ini tidak dibenahi, persoalan agraria bisa memicu instabilitas, karena orang butuh makan, dan makan butuh tanah,” ujarnya.
Deddy menekankan, Komisi II akan mendorong agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama pemerintah daerah bekerja lebih serius dalam menyelesaikan konflik agraria di Kaltara. Upaya ini penting untuk menjaga keamanan di perbatasan sekaligus memastikan masyarakat mendapat akses ekonomi yang adil dari tanah yang mereka kelola.
Selain soal agraria, Komisi II DPR RI juga menyoroti kondisi infrastruktur dan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Kaltara. Menurut Deddy, keberadaan PLBN seharusnya tidak hanya menjadi gedung administratif, tetapi berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi baru yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat perbatasan.
“Banyak akses jalan ke PLBN yang bahkan belum ada, sebagian masih berupa jalan tanah. Bagaimana PLBN bisa berfungsi optimal kalau jalannya saja tidak tembus? Padahal PLBN ini bukan sekadar simbol, tetapi wajah kedaulatan negara sekaligus pintu pertumbuhan ekonomi perbatasan,” pungkasnya. •aha