E-Media DPR RI

Integrasi Data dan Transparansi Struktur Harga Jadi Kunci Tekan Penyimpangan Subsidi Listrik

Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun saat Kunjungan Kerja Komisi XI DPRI ke PT PLN UP3 Surakarta di Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025). Foto: Saum/vel
Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun saat Kunjungan Kerja Komisi XI DPRI ke PT PLN UP3 Surakarta di Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025). Foto: Saum/vel


PARLEMENTARIA, Surakarta —
 Komisi XI DPR RI memperingatkan adanya risiko bocornya subsidi listrik jika integrasi data penerima tidak dilakukan secara ketat dan struktur harga listrik tidak dikelola secara transparan. Karena itu, Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun menegaskan bahwa subsidi listrik yang dibayar melalui APBN bernilai puluhan triliun rupiah dan harus benar-benar tepat sasaran.

“Subsidi listrik ini adalah wujud kehadiran negara. Tapi kalau struktur biaya tidak jelas dan data penerima tidak terintegrasi, bisa jadi banyak yang tidak berhak justru ikut menikmati,” ujar Misbakhun kepada Parlementaria usai agenda Kunjungan Kerja Komisi XI DPRI ke PT PLN UP3 Surakarta di Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025).

Menurutnya, sinkronisasi data antara PLN dengan program bantuan sosial lain, seperti bedah rumah dan bansos tunai, menjadi penting agar subsidi tidak tumpang tindih. Ia menekankan perlunya pembaruan data penerima karena tidak sedikit masyarakat yang sudah meningkat taraf hidupnya, namun masih tercatat sebagai penerima subsidi. 

“Update data sangat penting agar masyarakat tahu dia menerima subsidi atau tidak. Ini soal keadilan dan akuntabilitas,” tegas Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Selain masalah data, dirinya juga menyoroti struktur harga listrik yang menjadi dasar perhitungan subsidi. Tarif listrik yang dibayar masyarakat, menurutnya, tidak sepenuhnya mencerminkan harga pasar karena sudah melalui proses audit harga pokok penyediaan listrik (BPP). 

Dalam perhitungan itu terdapat sejumlah komponen biaya, mulai dari bahan bakar seperti batu bara, operasi dan pemeliharaan, investasi, hingga cadangan daya yang harus tersedia ketika terjadi perbaikan jaringan. “Komponen harga listrik ini harus transparan. Ada biaya cadangan, ada biaya perawatan, semua itu masuk ke struktur harga. Jika efisien dan kontraknya transparan, maka subsidi dari APBN akan lebih tepat guna,” jelasnya.

Data menunjukkan, alokasi subsidi listrik dalam APBN 2025 ditetapkan Rp 87,72 triliun, dengan porsi terbesar untuk pelanggan rumah tangga. Namun, Kementerian Keuangan memperkirakan anggaran bisa membengkak menjadi Rp 90,32 triliun akibat pelemahan rupiah, kenaikan harga batu bara, dan tekanan inflasi. Hingga Mei 2025, realisasi subsidi listrik sudah mencapai Rp 34,59 triliun.

Di sisi lain, berdasarkan laporan PLN 2023, rata-rata harga jual listrik adalah Rp 1.155,47 per kWh, dengan tingkat susut jaringan (losses) mencapai 8,57 persen. Maka dari itu, Misbakhun mengingatkan, tanpa transparansi harga dan integrasi data penerima, subsidi yang seharusnya membantu masyarakat prasejahtera justru berpotensi salah sasaran. 

“Dana negara yang besar ini harus dikelola dengan akuntabilitas tinggi. Transparansi di PLN dan integrasi data penerima akan menentukan keberhasilan kebijakan subsidi listrik,” pungkasnya. •um/rdn