E-Media DPR RI

Daniel Johan: Regulasi Masyarakat Hukum Adat Harus Komprehensif

Anggota DPR RI dari Fraksi PKB, Daniel Johan dalam diskusi bersama para pakar dan kementerian terkait dalam rangka penyusunan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10/2025).Foto : Devi/Andri
Anggota DPR RI dari Fraksi PKB, Daniel Johan dalam diskusi bersama para pakar dan kementerian terkait dalam rangka penyusunan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10/2025).Foto : Devi/Andri


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Pusat Perancangan Undang-Undang Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Pembangunan, dan Kesejahteraan Rakyat (Ekkuinbangkesra) Badan Keahlian DPR RI menggelar diskusi bersama para pakar dan kementerian terkait dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10/2025), dipimpin oleh Anggota DPR RI dari Fraksi PKB, Daniel Johan.

RUU Masyarakat Hukum Adat merupakan usul inisiatif Anggota DPR RI, yang diajukan oleh Fraksi PKB, Fraksi Partai NasDem, dan Fraksi Partai Demokrat. Daniel Johan menegaskan pentingnya pengaturan komprehensif mengenai masyarakat hukum adat, mengingat selama ini regulasi yang ada masih bersifat sektoral.

“Perundang-undangan yang ada masih dilakukan secara sektoral dan belum diatur secara komprehensif. Akibatnya, kebutuhan hukum masyarakat hukum adat belum terpenuhi, sehingga tidak ada kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dalam memperoleh pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan. Oleh karena itu, pengaturan secara komprehensif dalam satu undang-undang sangat diperlukan,” ujar Daniel.

Daniel menambahkan, masukan dari para pakar dan pemangku kepentingan menjadi penting agar naskah akademik dan draf RUU yang disusun memenuhi prinsip partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation). Sejumlah narasumber yang hadir dalam diskusi antara lain Kepala Badan Keahlian Setjen DPR RI Bayu Dwi Anggono, perwakilan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta pakar hukum dari berbagai perguruan tinggi.

Bayu dalam paparannya menekankan bahwa penyusunan RUU ini memiliki dasar konstitusional yang kuat. Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

“RUU ini sejatinya adalah undang-undang organik yang merupakan perintah langsung dari konstitusi. Selain itu, sudah banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang mempertegas pentingnya regulasi tentang masyarakat hukum adat, terutama terkait hutan adat, tanah ulayat, dan hak-hak komunal,” ungkap Bayu.

Bayu juga mengingatkan bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat bukan hal baru dalam legislasi. Sejak periode Prolegnas 2010–2014, isu ini telah masuk daftar, kemudian berlanjut pada Prolegnas 2015–2019, dan Prolegnas 2020–2024. Pada 2020, RUU ini bahkan sudah melalui proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg), namun belum sempat ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. “Kabar baiknya, dalam Prolegnas Prioritas 2025, RUU ini masuk sebagai prioritas nomor 33. Artinya, ada momentum politik yang kuat untuk akhirnya bisa diselesaikan,” tambahnya.

Dalam diskusi tersebut, para narasumber juga menyoroti sejumlah isu krusial yang perlu diakomodasi dalam RUU, antara lain: Mekanisme pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, penyelesaian konflik agraria dan kehutanan yang melibatkan komunitas adat, harmonisasi dengan perda-perda di daerah yang telah mengatur masyarakat hukum adat, penguatan kelembagaan adat, mekanisme penyelesaian sengketa berbasis hukum adat, serta dukungan pendanaan negara bagi pemberdayaan masyarakat adat.

Sebagai catatan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat hingga 2024 terdapat lebih dari 2.500 komunitas adat di Indonesia yang tersebar di 31 provinsi. Namun, baru sekitar 150 komunitas yang diakui secara formal melalui perda maupun keputusan kepala daerah. Fakta ini memperkuat urgensi lahirnya undang-undang yang dapat memberi kepastian hukum sekaligus memberdayakan masyarakat adat.

Diskusi sebagai komitmen Pusat Perancangan UU Bidang Ekkuinbangkesra untuk menyerap seluruh masukan, baik dari akademisi, pemerintah, maupun masyarakat sipil. Proses penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat diharapkan dapat segera rampung sehingga bisa dibawa ke tahap pembahasan tingkat I di DPR RI. •ssb/aha