
Anggota Komisi VI DPR RI, Muhammad Sarmuji, saat memimpin Kunjungan Kerja Reses dalam rangka Perkembangan Industri Gula dan Ketanahan Pangan di Gedung Kantor Sinergi Gula Nusantara (SGN), Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/10/2025). Foto: Runi/vel.
PARLEMENTARIA, Surabaya – Anggota Komisi VI DPR RI, Muhammad Sarmuji, menilai permasalahan serius dalam tata niaga gula nasional adalah bocornya gula rafinasi ke pasar konsumsi rumah tangga. Menurutnya, kondisi ini merugikan petani tebu karena gula mereka tidak terserap maksimal.
“Gula dari petani tidak terserap di pasar karena ada gula rafinasi yang seharusnya untuk industri, tapi merembes ke konsumen. Ini tentu merugikan petani, apalagi konsumen kita sering membandingkan, karena gula rafinasi lebih putih. Padahal sebenarnya, gula lokal yang agak berwarna justru lebih bagus kandungannya,” ujar Sarmuji kepada Parlementaria usai memimpin Kunjungan Kerja Reses dalam rangka Perkembangan Industri Gula dan Ketanahan Pangan di Gedung Kantor Sinergi Gula Nusantara (SGN), Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/10/2025).
Politisi Fraksi Partai Golkar ini menegaskan, solusi utama bukan hanya operasi di lapangan untuk mengawasi kebocoran, melainkan pengendalian kuota impor sejak awal. Jika impor gula rafinasi melebihi kebutuhan industri, maka dipastikan akan merembes ke pasar konsumsi.
“Yang bisa menyelesaikan masalah adalah penyelesaian di ujung (hulu). Yaitu dengan menghitung kebutuhan gula rafinasi industri secara benar dan transparan. Kalau kuotanya berlebih, pasti akan menembus pasar. Kalau ujungnya (kuota impor berlebihannya) disetop, insya Allah di hilirnya juga akan berhenti,” tegasnya.
Selain pengendalian impor, Sarmuji menilai ekosistem pergulaan nasional harus dibangun lebih kuat. Hal ini mencakup dukungan pendanaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), riset dan pengembangan (litbang) untuk menghasilkan benih unggul, serta pembinaan langsung kepada petani.
“Kalau ekosistem pergulaan terbangun dengan baik, petani kita kuat, insya Allah bukan hanya swasembada yang bisa kita capai, tetapi juga mampu mengekspor gula di masa depan,” pungkasnya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional, pada tahun 2025 kuota impor gula rafinasi ditetapkan sebesar 3,4 juta ton, sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Namun hingga kuartal III 2025, izin impor yang telah masuk justru mencapai 4,1 juta ton, dengan 200 ribu ton sisanya ditahan sementara.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor 308.780 ton gula pada Januari 2025 dengan nilai USD 162,8 juta (Rp2,6 triliun). Mayoritas berupa gula mentah dan gula kristal rafinasi (GKR) yang seharusnya hanya diproses untuk kebutuhan industri, namun di lapangan sebagian bocor ke pasar rumah tangga dan bersaing langsung dengan gula lokal.
Dari sisi produksi, nasional masih jauh dari kebutuhan. Pada 2024, produksi dalam negeri hanya mencapai 2,46 juta ton, sementara kebutuhan nasional sekitar 6,5 juta ton. Artinya, Indonesia defisit rata-rata 4 juta ton per tahun. Bank Indonesia mencatat, dalam satu dekade terakhir defisit produksi gula mencapai 63 persen. Tahun 2025, pemerintah menetapkan kuota impor GKR sebesar 3,44 juta ton, dengan realisasi hingga September mencapai 2 juta ton. •rni/rdn