
Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi II ke Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/10/2025). Foto: Munchen/vel.
PARLEMENTARIA, Bandung — Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya menyoroti persoalan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dinilainya sangat sensitif dan perlu penanganan hati-hati. Menurutnya, isu ini berkaitan erat dengan kondisi bonus demografi yang sedang dihadapi Indonesia, di mana sekitar 60 persen penduduk merupakan angkatan kerja aktif.
“Kalau kita berbicara masalah PPPK ini, sangat sensitif. Karena kita mempunyai bonus demografi angkatan kerja yang sangat tinggi, sekitar 60 persen. Namun lapangan kerja yang tersedia masih sangat terbatas. Karena itu, banyak masyarakat menganggap bahwa pekerjaan sebagai Pegawai Negeri merupakan pilihan utama,” ujar Indrajaya saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi II ke Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/10/2025).
Indrajaya mengungkapkan permasalahan rekrutmen PPPK kerap berulang karena adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja. Berdasarkan data yang diterimanya, jumlah pelamar mencapai 23.000 orang dengan info jumlah formasi 4000. Namun setelah proses verifikasi hanya 3.200 formasi yang sesuai. Kondisi ini mencerminkan masih adanya ketidaksesuaian data dalam proses seleksi dan penempatan.
“Padahal, Kemenpan RB menyampaikan bahwa prosesnya sudah clear, namun persoalan justru sering muncul di daerah. Karena itu, format dan mekanisme rekrutmen yang dimulai dari daerah perlu dijelaskan secara terbuka kepada publik,” tegasnya.
Lebih lanjut, Indrajaya menyoroti fenomena meningkatnya jumlah peserta seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) dan PPPK yang mengundurkan diri. “Hasil tes CASN tahun ini mencatat 1.967 peserta mengundurkan diri, baik dari jalur CASN maupun PPPK. Banyak di antara mereka mundur karena masalah penempatan dan gaji, seperti yang terjadi di Papua,” jelasnya.
Ia menambahkan, terdapat pula kasus tenaga kesehatan seperti dokter yang memilih keluar, sementara perawat atau suster yang berstatus PPPK justru tetap bertahan meski belum ada kejelasan status kepegawaian. Menurutnya, kondisi ini menunjukkan perlunya pembenahan dalam sistem rekrutmen dan distribusi ASN di lapangan.
Selain itu, Indrajaya menilai pergantian kepala daerah sering kali berdampak pada keberlanjutan kebijakan rekrutmen ASN. “Proses rekrutmen ini sering kali merupakan lanjutan dari kebijakan kepala daerah sebelumnya. Sehingga berpotensi memunculkan ketidaksesuaian di lapangan. Karena itu, perlu penguatan regulasi dan pengawasan agar rekrutmen di daerah berjalan profesional dan berbasis kompetensi,” tuturnya.
Menutup pernyataannya, Indrajaya mengingatkan bahwa isu PPPK memiliki sensitivitas tinggi di masyarakat. Oleh karena itu, ia mengimbau para pemangku kebijakan di daerah untuk menyampaikan informasi kepada publik secara bijak dan proporsional. •mun/aha