E-Media DPR RI

Penegakan Hukum Harus Tegas dan Adil dalam Penanganan Konflik Agraria di Danau Toba

Anggota Komisi XIII DPR RI Maruli Siahaan saat rapat dengar pendapat Komisi XIII DPR RI bersama perwakilan masyarakat, aparat hukum, dan pihak perusahaan di Medan. Foto: Nadya/vel.
Anggota Komisi XIII DPR RI Maruli Siahaan saat rapat dengar pendapat Komisi XIII DPR RI bersama perwakilan masyarakat, aparat hukum, dan pihak perusahaan di Medan. Foto: Nadya/vel.


PARLEMENTARIA, Medan 
– Anggota Komisi XIII DPR RI Maruli Siahaan menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tegas, objektif, dan tanpa pandang bulu dalam menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat dan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di kawasan Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara.

Dalam rapat dengar pendapat Komisi XIII DPR RI bersama perwakilan masyarakat, aparat hukum, dan pihak perusahaan di Medan, Maruli menekankan bahwa setiap tindak pidana, baik yang dilakukan oleh pihak perusahaan maupun masyarakat, harus ditangani secara hukum berdasarkan laporan resmi dan proses penyelidikan yang transparan.

“Kalau ada peristiwa penyerangan, pengerusakan, atau perampasan lahan, itu pidana murni. Hukum harus ditegakkan tanpa melihat siapa pelakunya, apakah perusahaan atau masyarakat. Polisi wajib turun ke lapangan menindaklanjuti laporan masyarakat,” tegas Maruli kepada Parlementaria di Medan, Sumatera Utara, Jumat (03/10/2025).

Ia meminta Kapolda Sumatera Utara agar menginstruksikan seluruh Kapolres dan intelkam di kabupaten kawasan Danau Toba untuk aktif memantau perkembangan di lapangan dan memastikan situasi keamanan terkendali tanpa kekerasan.

Maruli juga menyoroti perlunya peninjauan kembali izin konsesi PT. TPL, mengingat konflik telah berlangsung sejak lama. Berdasarkan data, perusahaan tersebut memperoleh izin konsesi sejak tahun 1992, sedangkan masyarakat telah bermukim dan bertani di wilayah tersebut jauh sebelum izin diterbitkan.

“Kita harus libatkan pemerintah pusat dan kepala daerah untuk memastikan status lahan. Apakah itu tanah adat atau tanah konsesi, supaya tata ruangnya jelas dan tidak menimbulkan tumpang tindih,” ujarnya.

Hasil kesimpulan rapat Komisi XIII DPR RI menegaskan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang bersifat struktural dan sistematis dalam konflik agraria di wilayah PT. TPL. DPR RI meminta Kementerian HAM, Komnas HAM, dan LPSK untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), serta mendorong seluruh pihak menempuh pendekatan dialog dan non-represif.

Data menunjukkan bahwa konflik agraria di Sumatera Utara mencapai 33 kasus dengan total luasan 34.000 hektare, sebagian besar melibatkan klaim tumpang tindih antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah daerah.

Maruli menegaskan bahwa solusi hukum tidak boleh mengabaikan aspek sosial dan ekonomi masyarakat.

“Kalau perusahaan melanggar hukum atau merusak lingkungan, izinnya harus dicabut. Tapi kalau hanya ada kesalahan administratif, harus diperbaiki. Karena ada 4.000 pekerja di sana, yang berarti 12.000 jiwa bergantung hidup dari pabrik itu. Kita jangan sampai menimbulkan pertumpahan darah,” katanya.

Komisi XIII DPR RI menegaskan komitmennya untuk terus mengawasi penegakan hukum dan HAM di kawasan Danau Toba, serta memastikan seluruh pihak mematuhi prinsip keadilan, kemanusiaan, dan keberlanjutan lingkungan. •ndy/rdn