
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Andre Rosiade saat RDP dengan Kemendag, PT RNI, PTPN III, Perum Bulog, dan 11 perusahaan pemegang izin impor gula rafinasi di DPR, Jakarta, Rabu (1/10/2025). Foto : Farhan/Andri.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Andre Rosiade memperingatkan bahwa kebocoran distribusi gula rafinasi yang masuk ke pasar konsumsi rumah tangga telah merusak keseimbangan industri dan memiskinkan petani tebu. Jika dibiarkan tanpa intervensi kebijakan yang tegas, ungkapnya, harga gula kristal putih lokal milik petani jatuh dan industri gula dalam negeri kesulitan menyerap hasil produksi.
Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI dengan Kementerian Perdagangan, PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), PT Perkebunan Nusantara III (Persero), Perum Bulog, dan 11 perusahaan pemegang izin impor gula rafinasi di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Pemerintah pun, lanjutnya, terpaksa menggelontorkan dana sebesar Rp1,5 triliun melalui BUMN pangan, ID Food, untuk menyerap kelebihan stok gula petani yang tak terserap pasar. “Bertahun-tahun masalah ini tidak selesai-selesai. Akhirnya Presiden Prabowo harus intervensi langsung dengan dana triliunan untuk menyelamatkan petani tebu. Ini bukan hal kecil. Ini kerusakan sistemik yang dibiarkan terlalu lama,” ujar Andre.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari 2025, Indonesia telah mengimpor 308.780 ton gula dengan nilai mencapai USD 162,8 juta atau setara dengan Rp2,6 triliun. Mayoritas gula yang diimpor berupa gula mentah dan gula kristal rafinasi yang seharusnya diproses lebih lanjut oleh industri.
Namun di lapangan, terjadi indikasi bahwa sebagian dari gula tersebut malah didistribusikan ke pasar rumah tangga, bersaing langsung dengan gula lokal produksi petani. Sementara itu, produksi gula nasional masih jauh dari cukup. Sebab, pada tahun 2024, rata-rata produksi gula dalam negeri hanya sekitar 2,46 juta ton, sedangkan kebutuhan nasional (baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri) diperkirakan mencapai 6,5 juta ton.
Artinya, Indonesia mengalami defisit produksi gula hingga sekitar 4 juta ton per tahun. Bahkan, Bank Indonesia sebelumnya mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir, defisit produksi gula nasional mencapai 63 persen dari kebutuhan.
Pun, Kementerian Perdagangan mengonfirmasi bahwa pada tahun 2025, pemerintah telah menetapkan kuota impor gula kristal rafinasi sebesar 3,44 juta ton, dengan realisasi impor hingga bulan September telah mencapai 2 juta ton. Oleh karena itu, Andre mempertanyakan efektivitas pengawasan dari pemerintah terhadap distribusi gula tersebut.
“Kalau semua sesuai aturan, kenapa bisa bocor ke pasar? Kenapa harga gula petani jatuh dan harus diserap pakai uang negara? Ini bukan soal teknis saja, ini soal keberpihakan pada petani dan industri nasional,” katanya.
Di sisi lain, demi menjaga stabilitas pasokan dan harga, pemerintah merencanakan tambahan impor gula mentah sebanyak 200.000 ton pada tahun ini sebagai bagian dari cadangan pangan pemerintah (CPP). Akan tetapi, keputusan ini kembali menjadi polemik, sebab belum menyentuh akar permasalahan utama yaitu lemahnya pengawasan distribusi dan celah dalam sistem perizinan impor.
Sebab itu, Politisi Fraksi Partai Gerindra ini menekankan kondisi ini semakin memperkuat argumen bahwa kebocoran gula impor rafinasi ke pasar konsumsi memiliki dampak berlapis berupa merusak harga, mematikan petani lokal, menekan industri pengolahan gula, dan pada akhirnya membebani keuangan negara. Ia pun menegaskan bahwa seluruh pemegang izin impor wajib memberikan penjelasan secara transparan dan terbuka terkait distribusi mereka.
Menutup pernyataannya, tata niaga gula nasional harus dibenahi secara menyeluruh, mulai dari perizinan impor, pengawasan distribusi, hingga perlindungan terhadap petani dan industri nasional. Ia pun menyerukan agar momentum rapat ini dijadikan titik balik untuk menciptakan sistem tata kelola gula yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
“Kita tidak bisa lagi membiarkan segelintir perusahaan menikmati fasilitas impor sementara petani tebu terus merugi. Negara harus hadir, bukan hanya sebagai regulator, tapi juga pelindung rakyat,” tegas Andre. •um/rdn