
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, dalam Forum Legislasi yang digelar KWP bersama Biro Pemberitaan DPR RI di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025). Foto: Mario/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, menegaskan urgensi revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sudah berusia lebih dari dua dekade. Menurutnya, dunia pendidikan yang terus dinamis menuntut regulasi lebih adaptif.
“Pendidikan selalu berkembang, ada temuan-temuan baru. Karena itu revisi tidak bisa setengah-setengah. Semua komponen, isu, dan persoalan harus masuk dalam revisi ini,” ujar Lalu dalam Forum Legislasi bertema “Revisi UU Sisdiknas Dinilai Tekankan Pemerataan dan Mutu Pendidikan” yang digelar KWP bersama Biro Pemberitaan DPR RI di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Ia menekankan perlunya roadmap pendidikan nasional agar tidak terjebak pada kebijakan jangka pendek. “Selama ini ada anggapan ganti pemerintahan, ganti sistem pendidikan. Padahal undang-undangnya tidak pernah berganti sejak 2003,” jelas Politisi Fraksi PKB ini.
Lalu menambahkan, revisi juga menyasar penyelarasan dengan kebijakan baru, termasuk pengukuran mutu pendidikan dan standar layanan. “Kita ingin sistem pendidikan yang konsisten, terukur, dan relevan dengan kondisi hari ini,” tegasnya.
Selain itu, ia juga turut menyoroti lemahnya implementasi kewajiban anggaran 20 persen dari APBN dan APBD untuk pendidikan. Lalu menilai selama ini pengelolaan anggaran pendidikan masih menyisakan banyak persoalan.
“Seharusnya 20 persen itu murni dikelola untuk pendidikan. Namun pada praktiknya, anggaran tersebut tersebar ke berbagai kementerian, sehingga layanan dasar pendidikan masih memprihatinkan,” katanya.
Ia menegaskan perlunya ketegasan regulasi dalam revisi UU Sisdiknas. “Kalau ada program di luar pendidikan, gunakanlah pos anggaran lain. Jangan ganggu mandatory spending pendidikan,” ucapnya.
Menurut Lalu, lemahnya konsistensi anggaran inilah yang membuat sekolah banyak yang rusak, mutu layanan rendah, serta gaji guru honorer masih jauh dari layak. “Di negeri saja, masih ada guru yang mengajar lebih dari 48 jam seminggu hanya digaji Rp300 ribu. Ini sangat ironis,” ungkapnya. •rdn