
Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, saat mengikuti RDP Komisi VII DPR RI dengan Ditjen ILMATE dan Ditjen IKFT Kemenperin di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025). Foto: Farhan/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Komisi VII DPR RI menyoroti persoalan ketidakpastian kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang dinilai masih menyulitkan industri padat energi dalam negeri. Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, menyuarakan keresahan pelaku industri akibat mahalnya biaya energi dan ketidakjelasan distribusi gas.
Menurutnya, gas merupakan jantung industri manufaktur nasional. Namun, hingga kini kebijakan HGBT belum sepenuhnya memberi kepastian bagi dunia usaha. Hal ini disampaikannya dalam Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII bersama Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) serta Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025).
“Pembatasan kuota dan adanya biaya tambahan menyebabkan seluruh pelaku industri kita seolah kehabisan nafas. Banyak yang tidak mampu bertahan, bahkan ada yang gulung tikar. Padahal kita tahu, industri baja dan industri padat energi lainnya sangat krusial untuk menopang perekonomian nasional,” tegasnya.
Ia pun menyoroti praktik pembatasan volume penyaluran gas dan adanya biaya tambahan yang dinilai kontraproduktif. Hal ini, menurutnya, justru mematikan semangat investasi dan membuat pelaku industri kehilangan daya saing. “Kebijakan ini jangan sampai hanya jadi beban tambahan. Kami ingin ada konsistensi, transparansi, dan kepastian yang jelas mengenai penerapan HGBT. PGN dan kementerian terkait tidak bisa hanya melempar tanggung jawab, tetapi harus menjawab secara terbuka mengapa pembatasan ini diberlakukan,” tambah Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa kebijakan energi harus berpihak pada keberlangsungan industri. “High cost operational akibat harga energi yang tidak terkendali sangat membebani industri padat energi. Kalau kondisi ini terus dibiarkan, akan sulit bagi industri dalam negeri untuk bersaing, apalagi menghadapi pasar global,” jelasnya.
Selain kritik terhadap ketidakjelasan kebijakan HGBT, Komisi VII DPR RI juga menegaskan beberapa langkah strategis untuk memperkuat industri baja nasional. Salah satunya adalah penerapan instrumen perlindungan pasar baja domestik melalui Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), Bea Masuk Imbalan (Countervailing Duty), dan Safeguard. DPR menekankan pentingnya pengendalian tata niaga impor agar impor baja hanya dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
Dukungan juga diberikan untuk restrukturisasi utang serta penyediaan modal kerja bagi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Dengan langkah ini, diharapkan Krakatau Steel mampu mengoptimalkan fasilitas produksinya secara efisien dan berkelanjutan. Tidak hanya itu, DPR mendorong adanya percepatan hilirisasi produk baja, termasuk melalui sinergi dengan industri perkapalan, peralatan militer, serta transportasi, bahkan program penyediaan tiga juta rumah rakyat.
Dalam kesimpulannya, Komisi VII DPR RI mendesak Kementerian Perindustrian untuk meningkatkan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait, serta PT Pertamina Gas Negara (PGN), dalam hal distribusi kuota gas bagi industri. Distribusi tersebut harus dilakukan secara adil, dengan harga proporsional, dan ketersediaannya diumumkan secara terbuka sejak awal tahun. Selain itu, DPR juga meminta adanya audit menyeluruh terhadap dampak kebijakan HGBT, termasuk dalam hal peningkatan kapasitas produksi, investasi, hingga penciptaan lapangan kerja.
“Kami di Komisi VII menginginkan kebijakan HGBT benar-benar memberikan manfaat nyata bagi industri. Jangan sampai industri dalam negeri semakin melemah hanya karena kebijakan energi yang tidak konsisten. Ini bukan hanya soal gas, tapi soal keberlangsungan daya saing dan masa depan industri nasional kita,” pungkas Novita. •bit/rdn